Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Glorifikasi Bule Sampah dan Aksi Pungut Sampah

21 Maret 2024   07:50 Diperbarui: 21 Maret 2024   15:12 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media sosial sudah mulai dimasuki berbagai informasi tentang sampah. Terutama media sosial Instagram (IG) dan Tiktok (TT) yang sedang banyak digandrungi masyarakat. Telah bermunculan orang-orang yang berbicara soal sampah.

Kondisi itu sangat menggembirakan asal banyaknya viewer (penonton) dan followers (pengikut) tidak hanya menghasilkan glorifikasi belaka. Karena bentuk-bentuk glorifikasi di bidang persampahan sangat rentan disusupi program green washing. Kita harus pandai menilai, mana orang atau aksi yang benar-benar nyata untuk pelestarian lingkungan melalui bidang persampahan dan mana yang hanya dibuat sebagai konten untuk menarik dan mendapatkan viewer  dan  followers saja.

Sebab, saat ini di semua sosial media semakin sulit membedakan tontonan yang tampil. Antara yang hanya dibuat sebagai konten dengan yang benar-benar sebagai aksi nyata sangat sulit dibedakan. Ditambah lagi, juga sulit membedakan antara mana yang murni untuk pelestarian lingkungan dengan mana yang mencari keuntungan dengan bicara pelestarian lingkungan.

Sebuah pengalaman, ada salah satu kabupaten yang di berbagai  sosial tampil sebagai daerah yang berhasil mengelola sampahnya. Tapi ketika tim  Sekolah Sampah Nusantara (SSN) datang ke kabupaten tersebut, terungkap bahwa kenyataannya jauh dari konten TT. Bukan jauh lebih bagus, bahkan seorang dosen dari kampus terkemuka dari kabupaten itu menyatakan apa yang ada di media sosial itu sebagai "lips service".

Daerah yang di media sosial itu tampil berhasil mengelola sampah itu nyatanya sedang kelabakan dengan biaya operasional dan keberlanjutan. Di sisi lain, peran utama di media sosial itu pada akhirnya tampil untuk berjualan mesin pemilah sampah yang diklaim mengantar keberhasilan pengelolaan sampah di daerah itu.

Sebenarnya, kondisi flexing dalam pengelolaan sampah bukan hal yang baru. Sejak lama pemerintah sudah melakukannya di mana-mana. Mungkin itulah yang menjadi inspirasi banyak pihak untuk ikut melakukan flexing. Sudah hal biasa bagi pemerintah melakukan peresmian ini dan itu terkait pengelolaan sampah, diklaim bisa menyelesaikan masalah sampah, tapi pada akhirnya mangkrak.

Flexing keberhasilan dalam pelestarian dan penyelamatan lingkungan itu di kalangan pegiat lingkungan disebut green wash. Swasta juga merupakan pihak yang sering melakukan green wash. Melalui berbagai kegiatan yang seremonial mereka menyatakan telah peduli pada lingkungan dengan klaim yang sering dibesar-besarkan. Namun, pada kenyataannya kontribusinya sangat kecil pada pelestarian lingkungan hidup.

Keberadaan dan kemunculan orang-orang yang berbicara sampah di media sosial semoga tidak hanya sekadar glorifikasi semata. Terutama karena banyaknya viewer dan followers. Diharapkan pula apa yang mereka sampaikan sesuai dengan kenyataan dan bukan mencari keuntungan semata dari carut-marutnya kondisi persampahan di Indonesia.

Senang Sosok Baru & Aksi Kolosal

Masyarakat Indonesia sangat senang dan antusias pada sosok baru serta aksi kolosal. Meski sosok baru itu berbicara hal-hal yang sudah banyak dan sering  disampaikan. Di antaranya tentang  sampah dan kondisi persampahan Indonesia.

Orang Indonesia juga senang dan mendukung bahkan ingin terlibat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kolosal. Misalnya aksi pungut sampah bersama. Meskipun dalam kesehariannya mereka tidak biasa memungut sampah yang ditemuinya atau masih buang sampah sembarangan.

Itulah kenapa Bule Sampah dan banyak gerakan aksi pungut sampah di sungai-laut-pantai dan lainnya digandrungi oleh masyarakat Indonesia melalui media sosial. Masalahnya, apakah kegandrungan itu menghasilkan atau melahirkan perilaku untuk mengelola sampah?

Jawabannya, cenderung tidak. Karena fenomena yang kini sedang terjadi di media sosial itu adalah pengulangan. Tidak kurang banyak dulu para influencer media sosial Facebook (FB) dan Twitter (X) menyuarakan kepedulian pada pengelolaan sampah. Sekarang semuanya tidak mengemuka lagi.

Para influencer itu bukan hanya dari kalangan pecinta lingkungan, tapi juga dari kalangan artis yang banyak fans-nya. Fenomenanya sama. Para influencer itu membentuk organisasi gerakan bidang persampahan, membuat aksi-aksi kolosal pungut sampah, sampai membuat aplikasi-aplikasi penanganan, pengelolaan, dan jual beli sampah. Pada akhirnya hanya sedikit yang bertahan hingga saat ini. Itu pun sudah tidak populer lagi.

Demikian timbul tenggelamnya orang dan aksi-aksi di bidang persampahan. Ketika yang lain tenggelam, muncul pihak lain yang bersuara. Selanjutnya yang terjadi akan begitu lagi dan lagi. Selama prinsip dan aspek pengelolaan sampah hanya disampaikan kulit luarnya saja.

Apakah mereka kurang terkenal? Apakah mereka kurang dana?

Tidak. Mereka sangat terkenal dan kepopulerannya itu sangat bisa untuk mendapatkan dukungan dana dari berbagai sponsor. Namun, popularitas dan pendanaan yang besar tidak cukup untuk mengubah perilaku pengelolaan sampah Indonesia. Sebab, popularitas dan dana yang mereka punya hanya bisa masuk di ruang edukasi dan sosialisasi saja.

Sementara, edukasi dan sosialisasi itu hanyalah satu dari 6 aspek pengelolaan sampah yang harus dijalankan secara simultan. Maka pasti gagal mencapai tujuan pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.

Begitu juga dengan aksi-aksi pungut sampah kolosal. Kegiatan ini juga masih hanya menyentuh aspek edukasi dan sosialisasi saja. Maka, jangan heran kalau suatu tempat yang sudah dibersihkan melalui aksi pungut sampah ramai-ramai, tidak lama akan menumpuk sampah lagi. Atau peserta aksi pungut sampah tidak melakukan hal yang sama ketika sendirian, atau tidak mengurangi sampah, atau tidak memilah sampah di rumahnya.

Berjalanlah Berdasarkan Regulasi Persampahan

Yang dikhawatirkan dari glorifikasi pegiat persampahan dan aksi-aksi persampahan di media sosial adalah munculnya kebingungan masyarakat. Karena seringkali orang atau kegiatan itu hanya didasari emosi. Emosinya memang positif. Ingin lingkungan bersih dan Indonesia bebas sampah.

Tapi kegiatan dengan dasar emosi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru terkadang menjauhkan dari tujuan baiknya. 

Misalnya begini: para influencer mengajak orang untuk memilah sampah. Ketika orang-orang melakukan pemilahan sampah, mereka bingung bagaimana selanjutnya memperlakukan sampah yang sudah terpilah itu. Akhirnya, tetap diangkut petugas sampah yang kemudian menyatukan sampah yang sudah dipilah tadi di gerobak sampahnya. Orang kemudian menyesalkan perilaku petugas sampah itu, kemudian berhenti memilah sampah.

Contoh lagi: seorang influencer mengajak untuk mengkompos sampah organik. Lalu orang berusaha melakukan komposting sampah organik. Tapi karena kurangnya pengetahuan, terjadi kegagalan komposting. Sampah organiknya banyak belatungnya, berbau busuk dan lain sebagainya. Karena gagal, orang kemudian tidak mau lagi melakukan komposting. Adapun yang berhasil melakukan komposting, mereka bingung mau dikemanakan hasil komposting yang sudah melimpah.

Satu lagi contoh: suatu gerakan aksi pungut sampah mengajak melakukan aksi bersama pungut sampah di daerah-daerah. Orang kemudian menginisiasi aksi pungut sampah. Setelah aksi pungut sampah ternyata muncul masalah. Kadang terjadi sampah tidak diangkut ke TPA, atau TPA tidak mau menerima sampah dari kegiatan pungut sampah, atau karena banyaknya sampah peserta tidak mampu membersihkan semua. Ada rasa kecewa dari panitia, peserta, atau warga yang lokasinya dijadikan target pembersihan. Kondisi ini bisa membuat orang jera dan tidak mau berurusan dengan sampah lagi.

Semua hal yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dalam pengelolaan sepatutnya dihindari. Dan untuk menghindari kondisi itu solusinya hanya satu. Yaitu, mengganti emosi sebagai dasar gerakan dan aksi dengan regulasi.

Regulasi pengelolaan sampah Indonesia sangat bagus. Bahkan mungkin yang terbaik di dunia. Bacalah, pelajari, dan pahami betul regulasi pengelolaan sampah Indonesia. Terutama, Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Hanya dengan regulasi lah semua upaya, gerakan, dan aksi bisa terarah dan sesuai dengan tabiat asli orang Indonesia.

Itulah kenapa berbagai sistem dan teknologi yang dibawa orang asing tidak pernah berhasil dijalankan di Indonesia. Kendati sistem dan teknologi pengelolaan sampah yang dibawa orang asing itu berhasil di negaranya, di Indonesia belum tentu berhasil bahkan cenderung gagal. Karena dalam masalah sampah ada kekhasan tersendiri di Indonesia dan itu melahirkan pola dan perilaku.

Pola dan perilaku itu sudah begitu diantisipasi melalui UUPS. Itulah jawaban mengapa pengelolaan sampah di Indonesia tidak kunjung baik dan maju. Sebab UUPS masih ditinggalkan, atau digunakan sepotong-sepotong sesuai kepentingan pihak tertentu saja. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun