Orang Indonesia juga senang dan mendukung bahkan ingin terlibat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kolosal. Misalnya aksi pungut sampah bersama. Meskipun dalam kesehariannya mereka tidak biasa memungut sampah yang ditemuinya atau masih buang sampah sembarangan.
Itulah kenapa Bule Sampah dan banyak gerakan aksi pungut sampah di sungai-laut-pantai dan lainnya digandrungi oleh masyarakat Indonesia melalui media sosial. Masalahnya, apakah kegandrungan itu menghasilkan atau melahirkan perilaku untuk mengelola sampah?
Jawabannya, cenderung tidak. Karena fenomena yang kini sedang terjadi di media sosial itu adalah pengulangan. Tidak kurang banyak dulu para influencer media sosial Facebook (FB) dan Twitter (X) menyuarakan kepedulian pada pengelolaan sampah. Sekarang semuanya tidak mengemuka lagi.
Para influencer itu bukan hanya dari kalangan pecinta lingkungan, tapi juga dari kalangan artis yang banyak fans-nya. Fenomenanya sama. Para influencer itu membentuk organisasi gerakan bidang persampahan, membuat aksi-aksi kolosal pungut sampah, sampai membuat aplikasi-aplikasi penanganan, pengelolaan, dan jual beli sampah. Pada akhirnya hanya sedikit yang bertahan hingga saat ini. Itu pun sudah tidak populer lagi.
Demikian timbul tenggelamnya orang dan aksi-aksi di bidang persampahan. Ketika yang lain tenggelam, muncul pihak lain yang bersuara. Selanjutnya yang terjadi akan begitu lagi dan lagi. Selama prinsip dan aspek pengelolaan sampah hanya disampaikan kulit luarnya saja.
Apakah mereka kurang terkenal? Apakah mereka kurang dana?
Tidak. Mereka sangat terkenal dan kepopulerannya itu sangat bisa untuk mendapatkan dukungan dana dari berbagai sponsor. Namun, popularitas dan pendanaan yang besar tidak cukup untuk mengubah perilaku pengelolaan sampah Indonesia. Sebab, popularitas dan dana yang mereka punya hanya bisa masuk di ruang edukasi dan sosialisasi saja.
Sementara, edukasi dan sosialisasi itu hanyalah satu dari 6 aspek pengelolaan sampah yang harus dijalankan secara simultan. Maka pasti gagal mencapai tujuan pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.
Begitu juga dengan aksi-aksi pungut sampah kolosal. Kegiatan ini juga masih hanya menyentuh aspek edukasi dan sosialisasi saja. Maka, jangan heran kalau suatu tempat yang sudah dibersihkan melalui aksi pungut sampah ramai-ramai, tidak lama akan menumpuk sampah lagi. Atau peserta aksi pungut sampah tidak melakukan hal yang sama ketika sendirian, atau tidak mengurangi sampah, atau tidak memilah sampah di rumahnya.
Berjalanlah Berdasarkan Regulasi Persampahan
Yang dikhawatirkan dari glorifikasi pegiat persampahan dan aksi-aksi persampahan di media sosial adalah munculnya kebingungan masyarakat. Karena seringkali orang atau kegiatan itu hanya didasari emosi. Emosinya memang positif. Ingin lingkungan bersih dan Indonesia bebas sampah.