Sadarilah bahwa benda-benda yang selama ini kita sebut sampah adalah penyelamat bagi kita. Plastik pada makanan dan minuman misalnya, telah menyelamatkan 60-70 persen bahan makanan dan minuman kita dari kebusukan.Â
Plastik itu juga telah menyelamatkan kita dari makanan dan minuman yang terpapar kotoran yang beterbangan di udara. Dia juga telah menyelamatkan kita dari kerepotan membawa wadah untuk makanan dan minuman kita.
Styrofoam, kaleng, kardus, alumunium, karton dan segala yang menjadi kemasan makanan dan minuman serta peralatan kita, sesungguhnya telah menyelamatkan kita. Tapi kebanyakan kita kemudian tidak tahu berterima kasih pada bekas-bekas kemasan itu. Kemudian membuangnya begitu saja di tempat sampah, kemudian berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dan bergunung-gunung menumpuk di sana.
Demikian juga pada sampah organik. Semua bahan makanan dan minuman yang tersisa karena kita tak kuat lagi melahapnya. Kebanyakan kita membuangnya begitu saja di tempat sampah, tercampur dengan sampah anorganik. Kita sungguh tidak tahu terima kasih pada sisa makanan dan minuman itu yang kemudian berakhir di TPA menjadi beban lingkungan dan masalah di masa depan.
Masyarakat tidak sepenuhnya salah akan perilakunya dalam persampahan. Paradigma Indonesia dalam hal persampahan memang masih sebatas "Buanglah Sampah pada Tempatnya!" Paradigma itu belum bergeser sama sekali sejak 1945.
Sesungguhnya sudah ada regulasi yang mengajak pada pergeseran pengelolaan sampah yang lebih maju daripada sekadar membuang sampah pada tempatnya. Yaitu Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Indonesia telah mencanangkan pengelolaan sampah yang lebih baik, tapi pada kenyataannya di lapangan tidak ada perubahan.Â
Bahkan paradigma persampahan yang jadul (jaman dulu) terkesan dipertahankan sehingga penggunaan TPA tak kunjung berhenti. Ada juga yang sudah berupaya menghentikan penggunaan TPA, tapi konsep dan paradigmanya tetap jadul: Buanglah sampah pada tempatnya, nanti kami angkut, dan nanti kami pilah di instalasi.
Paradigma, konsep, dan cara kerja jadul itu dipertahankan demi retribusi persampahan dan biaya-biaya pemeliharaan TPA serta operasional pengangkutan sampah ke TPA atau ke instalasi pengolahan sampah. Masyarakat belum sampai diajak untuk mengelola sampah dengan paradigma, konsep, dan cara kerja baru yang justru memberikan insentif sesuai UUPS.
Stagnansi Pengelolaan Sampah Belum Usai
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya