Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Solusi Sampah Indonesia dalam Visi Misi Capres-Cawapres

2 Desember 2023   08:01 Diperbarui: 3 Desember 2023   01:37 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (capres-cawapres) harus memikirkan cara untuk menyelesaikan persoalan sampah Indonesia. Karena hingga kini belum ada solusi penyelesaian yang benar-benar mampu membereskan 70 juta ton sampah per tahun itu. 

Di mana-mana darurat sampah masih mengemuka dan jadi arus utama isu lingkungan. Dan masih segar di ingatan kita tentang begitu banyaknya kebakaran tempat pembuangan/pemrosesan akhir (TPA) sampah beberapa waktu lalu.

Untuk itu capres-cawapres Indonesia mestinya serius menghadapi persoalan sampah nasional ini. Supaya ketika mereka memimpin Indonesia, persoalan sampah bisa diatasi. Bukan malah terus dijadikan proyek abadi yang dari waktu ke waktu terus dicari solusinya. 

Solusi demi solusi yang akhirnya tidak juga menyelesaikan masalah persampahan nasional. Sehingga, Indonesia terus berpindah dan mencoba solusi-solusi lainnya dengan terus memboroskan anggaran.

Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, jika diperhatikan akan lebih banyak mesin dan alat pengolahan sampah yang mangkrak. Gara-gara regulasi pengelolaan sampah tidak dijalankan dengan benar. 

Masyarakat hanya dijadikan objek dalam pengelolaan sampah. Produsen tidak dituntut tanggung jawabnya. Pemerintah jadi regulator sekaligus operator dalam pengelolaan sampah. Pegiat dan penggerak persampahan minim perhatian.

Semakin hari masalah sampah dan dampaknya akan semakin besar. Pertumbuhan penduduk, perbaikan akses dan infrastruktur transportasi, peningkatan ragam produk, pertumbuhan ekonomi akan menjadi gelombang yang akan mendatangkan banjir sampah di kota hingga pelosok desa. Dan sampah yang tidak dikelola dengan baik dan benar akan berdampak besar pada beban lingkungan. 

Beban yang pada gilirannya akan menimbulkan pencemaran udara, tanah, air, menjadi sumber penyakit, dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global.

Tidak semua Capres-Cawapres punya perhatian pada masalah sampah dalam visi misinya. (Foto: Repro Kompas.com & CNN.com)
Tidak semua Capres-Cawapres punya perhatian pada masalah sampah dalam visi misinya. (Foto: Repro Kompas.com & CNN.com)

Pemimpin Indonesia mendatang harus serius mengurus sampah. Agar tidak hanya memindahkan masalah dari rumah-rumah warga (sumber timbulan sampah) ke TPA. Paradigma pengelolaan sampah harus lebih banyak yang dapat dimanfaatkan kembali. Bukan sebaliknya, sampah lebih banyak yang dibuang sia-sia di TPA.

Sampah dalam Visi Misi Anies-Cak Imin

"Indonesia perlu menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas utama untuk memastikan kemajuan yang berkelanjutan. Inisiatif kami meliputi pengembangan energi terbarukan, pengelolaan sampah, pengendalian polusi, antisipasi bencana dan perubahan iklim, serta menjaga keanekaragaman hayati. Kita harus pastikan lingkungan hidup yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang lebih baik daripada kondisi yang kita terima dari para pendahulu."

Demikian paragraf pertama visi misi pasangan Anies-Cak Imin (AMIN) sebagaimana didownload dari kompasiana.com. Pasangan AMIN menempatkan sampah sebagai agenda Misi 3-nya. Yaitu, mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Dalam misinya, AMIN menyebut akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu contoh sukses ekonomi yang mengoptimalkan daur ulang di dunia. Dan memastikan tersedianya infrastruktur persampahan yang memenuhi standar dari hulu hingga hilir, serta memperbanyak infrastruktur yang mendukung ekonomi sirkular. 

Menjadikan Indonesia sebagai zona larangan impor sampah B3 dan mendorong Indonesia menjadi wilayah bebas kantong plastik. Selanjutnya, di Misi 4, 5, dan seterusnya AMIN beberapa kali menyebutkan pengelolaan dan pengolahan sampah untuk keberlanjutan lingkungan.

Soal sampah ini, Anies yang pernah jadi Gubernur DKI Jakarta bisa dilihat rekam jejaknya. Tentang bagaimana dia dan Cak Imin akan menjadikan Indonesia sebagai contoh negara yang optimal menjalankan sirkuler ekonomi, tentu masih misteri caranya. 

Karena selama jadi gubernur, Anies hanya bisa membuat kebijakan larangan kantong plastik. Tapi sampah Jakarta masih 8.000 ton per hari mengalir ke TPA Bantar Gebang di Bekasi. Dan sebagian besar di dalam 8.000 ton sampah itu adalah kantong plastik.

Sampah dalam Visi Misi Ganjar-Mahfud

Pasangan Ganjar-Mahfud memasukkan sampah di Misi 6-nya. Yaitu, mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau dan biru. 

Caranya dengan gerakan kesadaran gaya hidup bebas sampah, pengelolaan sampah yang terintegrasi, mengubah sampah menjadi peluang tambahan penghasilan alternatif bagi rakyat alias berkah ekonomi (waste to cash), dan meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan dengan ganyang plastik dan gebrak polusi melalui pendekatan reduce, reuse, recycle, repair and refabricate (5Rs).

Masih misteri juga bagaimana Ganjar-Mahfud akan menciptakan teknis hidup bebas sampah itu. Sebab, selama orang hidup, selama itu pula dia akan menghasilkan sampah. Orang akan berhenti menghasilkan sampah jika sudah mati dan dikubur. 

Tentang pengelolaan sampah yang terintegrasi, Ganjar-Mahfud mesti benar-benar mengevaluasi pengelolaan sampah saat ini. Karena klaim integrasi dalam pengelolaan sampah sering disalahartikan menjadi sentralisasi pengelolaan sampah. Nah, kalau sudah sentralisasi dalam pengelolaan sampahnya, bisa dipastikan akan kembali pada kebergantungan TPA.

Ganjar yang sudah punya pengalaman jadi Gubernur Jawa Tengah, secara langsung atau tidak telah punya warna tentang pengelolaan sampah. Beberapa kabupaten di Jawa Tengah telah dikenal dan viral pengelolaan sampahnya meski rapuh secara sistem. 

Namun, itu bekal yang bagus untuk perbaikan jika Ganjar jadi Presiden RI. Sedangkan dari Mahfud, dengan pengalamannya di yudikatif dan begitu paham hukum, kita bisa berharap regulasi pengelolaan sampah bisa tegak dan dijalankan jika rakyat memilihnya jadi Wakil Presiden RI.

Visi Misi Prabowo-Gibran Tidak Membahas Sampah

Dalam visi misinya, Prabowo-Gibran tampaknya tak menganggap sampah sebagai masalah nasional. Secara garis besar Prabowo-Gibran membahas tentang lingkungan yang berkelanjutan untuk masa depan generasi bangsa. Namun tak ada pembahasan spesifik tentang solusi persampahan nasional.

Saran Solusi Sampah untuk Para Capres-Cawapres

Ada hal yang harus diluruskan dari pemahaman dua capres-cawapres (AMIN dan Ganjar-Mahfud) yang dalam visi misinya membahas sampah. Yakni, tentang kantong plastik dan plastik. Dua capres dan cawapres itu tampaknya masih terhegemoni dengan pemikiran bahwa plastiklah yang merusak lingkungan. Padahal bukan!

Salah besar jika ada capres-cawapres dan siapapun lainnya memusuhi plastik. Pernyataan ini bukan karena saya produsen atau penjual plastik, atau mendapatkan sponsor dari produsen plastik. 

Pernyataan ini datang dari seseorang yang memiliki sedikit pengalaman di lapangan berkaitan dengan sampah dan plastik. Yakni, seseorang yang menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana plastik merusak lingkungan tapi sekaligus juga plastik bisa menghidupi banyak orang di kalangan bawah.

Plastik memang merusak lingkungan, tapi 70% makanan dan minuman kita akan rusak setiap harinya tanpa adanya plastik. Plastik memang merusak lingkungan, tapi jutaan orang hidup di industri plastik mulai dari produksi bijih plastik, produksi plastik, distribusi, penjualan, pemulungan, dan daur ulang.

Maka memusuhi plastik pada akhirnya saya anggap sebagai kekonyolan yang harus dihentikan. Terlebih lagi ketika permusuhan pada plastik dikipasi oleh persaingan bisnis dan dagang produk kemasan non-plastik seperti wadah kertas.

Yang lebih tepat harus dimusuhi adalah para oknum pemerintahan yang tidak mau menjalankan regulasi pengelolaan sampah. Terutama pada peraturan mengenai tanggung jawab produsen pada sisa produknya alias sampahnya. 

Sebab, dengan tidak dijalankannya regulasi persampahan, maka produsen plastik dan produk apapun lainnya akan bebas dari tanggung jawabnya untuk mengumpulkan dan mengolah kembali sisa kemasan atau sampahnya.

Sebenarnya sama saja produk plastik dengan non-plastik. Jika sampahnya tidak dikelola, semuanya akan jadi beban bagi lingkungan. Namun, dalam hal ini plastik tidak selamat dari bullying karena masa terurainya paling lama dibanding sampah non-plastik.

Saking ingin selamatnya produsen plastik dari bullying sebagai perusak lingkungan, produsen produk plastik akhirnya cari cara supaya bebas dari kecaman. Di antaranya dengan mencampur bahan plastik dengan adiktif yang bisa mempercepat penguraian. Kemudian plastik dengan zat adiktif penguraian itu mengklaim dirinya sebagai plastik ramah lingkungan. 

Ketika plastik sama ramah lingkungannya dengan produk non-plastik, maka produsennya bebas dari tanggung jawab mengelolanya. Lalu jadi beban lingkungan juga dengan status ramah lingkungan.

Sesungguhnya, semua produk 'baik itu plastik atau bukan plastik harus dikelola. Dan itu sangat mudah jika pemerintah mau menjalankan regulasi pengelolaan sampah. Hasilnya pun akan lebih besar mengelola sampah daripada terus-terusan menjadikan masalah sampah sebagai proyek abadi.

Untuk bisa mengelola sampah itu, jika pemerintah tidak punya anggaran, mudah juga untuk mengatasinya. Hanya dengan menerapkan dan menjalankan regulasi pengelolaan sampah. 

Yaitu, dengan melibatkan produsen untuk mengelola sampahnya kemudian memberikan insentif bagi produsen yang disiplin mengelola sampahnya serta mengenakan disinsentif pada produsen yang abai pada sampahnya.

Komposterisasi Seluruh Rumah Indonesia

Kunci dari pengelolaan sampah hanya tiga, yaitu sorting (pemilahan), collecting (pengumpulan), dan processing (pengolahan). Jika tidak mampu tiga, cukup dua: sorting dan collecting. Tidak bisa dua, satu saja: sorting. Dan satu itu hanya butuh alat yang sangat sederhana. Yaitu, komposter. Wadah sampah organik untuk dekomposisi.

Dengan adanya komposter di setiap rumah, maka sampah anorganik akan bersih dari kontaminasi organik. Jika sampah organik dikomposting dengan komposter, maka masyarakat tidak akan membuang sampah setiap hari. 

Sampah organik yang sudah dikomposting dengan komposter bisa jadi pupuk organik padat dan cair, bisa langsung dimanfaatkan sendiri atau dijual. Masyarakat bisa menahan sampah organik hingga 30 hari lamanya dengan proses komposting di komposter.

Sampah anorganik tanpa bercampur dengan organik menjadi lebih bersih, lebih mudah dipilah, lebih cepat laku, dan lebih mahal. Pabrik daur ulang akan senang membeli bahan baku daur ulang yang bebas kontaminasi sampah organik, karena tidak banyak biaya untuk proses pembersihan. Pengelola sampah bahagia karena lebih cepat bisa menghasilkan uang dari pengelolaan sampah.

Metode sederhana itu akan menghidupi banyak orang dan meningkatkan kualitas-kuantitas daur ulang yang selama ini selalu dikeluhkan perusahaan-perusahaan daur ulang. 

Buruknya kualitas dan kualitas barang daur ulang selama ini menyebabkan banyak perusahaan daur ulang melakukan impor sampah dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan produksinya.

Intinya semua aspek pengelolaan sampah harus simultan dijalankan. Yaitu aspek regulasi, pembiayaan, kelembagaan, teknologi, partisipasi masyarakat, dan bisnis. Teknologi yang dimaksud cukup komposter agar desentralisasi pengelolaan sampah masuk sampai ke rumah-rumah tangga atau sumber timbulan sampah. 

Itu diperlukan agar pengelolaan tidak sentralistik di TPS/TPS3R/PDUS/TPST/TPA. Sebab betapapun hebatnya teknologi di instalasi TPS/TPS3R/PDUS/TPST/TPA, semuanya tidak akan mampu memilah sampah yang sudah tercampur dari sumbernya.

Hanya dengan komposterisasi seluruh rumah di Indonesia itulah prinsip pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan bisa dijalankan. Penegasan singkatnya: tanpa komposter di rumah-rumah tangga dan sumber timbulan sampah lainnya, mustahil bisa membereskan masalah sampah Indonesia. 

Itu pun jika komposternya benar sesuai kontruksi dan kaidah komposting. (nra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun