Berdasarkan pengalaman itu, sebaiknya kita semua belajar bahwa komposter tidak bisa dibagi penggunaannya. Satu lokasi, satu komposter. Sebisa mungkin skala penggunaan komposter sesempit mungkin. Sebab, komposter ini berfungsi sangat internal.
Sebagai contoh, para ibu jika sehabis memasak akan malas keluar rumah untuk sekadar membuang sampah organik. Maka, komposter harus sangat dekat dengan dapur. Begitu juga jika ada anggota keluarga yang sehabis makan ada sisa, mereka sangat enggan ke tempat yang jauh untuk membuang sampah organik. Dengan demikian komposter harus sedekat mungkin dengan ruang makan atau dapur.
Apakah jika komposter diletakkan di dapur atau dekat ruang makan tidak menimbulkan bau?
Hanya sampah organik di dalam komposter yang salah konstruksi dan salah reaksi yang menimbulkan bau tidak sedap. Bau tidak sedap itu berasal dari proses anaerob yang menghasilkan gas metana. Gas metana inilah yang baunya busuk.
Kalau komposternya benar secara kontruksi dan reaksi mikrobanya sesuai kaidah komposting aerob, sampah organik tidak akan bau. Tapi tidak bau itu maksudnya bukan harum. Yang penting tidak ada bau sampah menyebar di ruangan dan mencemari udara. Dengan konstruksi komposter yang benar, vektor penyakit seperti lalat, tikus atau hewan lain yang bisa menyebarkan penyakit juga bisa dihindari dan aman.
Dengan memahami konstruksi, kapasitas, dan skala komposter diharapkan di masa mendatang tidak ada lagi kesia-siaan. Komposter sebagai kunci dari pengelolaan sampah belum tergantikan hingga saat ini. Terbukti, banyak sampah anorganik akhirnya tidak bernilai dan hanya jadi residu gara-gara tercampur sampah organik. Demikian juga berbagai peralatan dan mesin-mesin canggih pengolah sampah tidak maksimal kinerjanya karena sampah pada umumnya tercampur.
Singkat kata, kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah di Indonesia rendah gara-gara sampah tercampur antara organik dan anorganik. Sekali lagi, jika setiap sumber sampah sudah ada komposternya, dan komposter itu yang benar sesuai kaidah komposting, maka 50% masalah sampah sudah beres. Selanjutnya tinggal menjalankan manajemen pengelolaan dan pengolahannya saja. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya