Pemerintah Kota Yogyakarta akan menggunakan "tangan besi" dalam pengelolaan sampah. Suatu kebijakan yang justru berpotensi akan menjadi malapetaka bagi lingkungan di Yogyakarta jika tidak memiliki persiapan yang matang untuk diterapkan pada awal 2023 mendatang.
Dikutip dari berita berjudul "Jika Nekat Buang Sampah Anorganik di Yogyakarta, Bisa Kena Denda Rp 500 Ribu" (jogja.jpnn.com), 18 Desember 2022, Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya mengatakan gerakan nol sampah anorganik harus berjalan dan tidak bisa ditawar. Menurut dia, Pemerintah Kota Yogyakarta akan mengevaluasi program tersebut pada tiga bulan pertama. Setelah itu, peraturan daerah tentang gerakan nol sampah anorganik akan resmi berlaku.
Untuk menjalankan program tersebut, Pemkot Yogyakarta mengandalkan keberadaan 575 bank sampah yang sudah ada. Modal keberadaan bank sampah sebagai kelembagaan pengelola sampah memang bisa memberi andil dalam program tersebut. Namun, keberadaan bank sampah saja tidak akan cukup untuk mengurangi volume sampah secara signifikan.
Pemkot Yogyakarta kemudian menyatakan akan menerapkan denda bagi warga yang nekat membuang sampah anorganik. Rupanya Pemkot Yogyakarta tidak belajar dari puluhan pemerintah kabupaten/kota yang sebelum-sebelumnya sudah menerapkan ancaman sanksi pada masyarakat yang pada akhirnya tidak besar pada pengurangan volume sampah ke tempat pemrosesan/pembuangan akhir (TPA) sampah.
Penerapan sanksi dan denda pada masyarakat karena membuang sampahnya justru akan menjadi malapetaka. Jika Pemkot Yogyakarta tidak terlebih dahulu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai pemerintah dalam pengelolaan sampah.
Resistensi dari masyarakat akan sangat besar jika sanksi dan denda itu benar-benar diterapkan. Pertama, bank sampah yang sudah ada akan kewalahan dengan metode program nol sampah itu jika secara kelembagaan masih lemah. Lemah dari sisi kemampuan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan potensi jual sampah anorganik yang fluktuatif.
Kedua, masyarakat mungkin tidak akan membuang sampah anorganik melalui petugas kebersihan, tapi akan membuang sampah ke tempat lain secara tidak bertanggung jawab untuk menghindari sanksi atau denda. Sehingga akan muncul kantong-kantong ilegal dumping (penumpukan sampah ilegal) di banyak lokasi. Bahkan, sampah bisa dibuang dan bisa masuk ke badan air seperti aliran selokan atau sungai.
Ketiga, Pemkot Yogyakarta bisa "diserang balik" masyarakatnya dengan adanya potensi gugatan balik. Dikarenakan Pemkot Yogyakarta belum memenuhi semua kewajiban dalam aspek pengelolaan sampah sebelum menerapkan sanksi atau denda.
Tiga resistensi dari masyarakat terhadap penerapan sanksi atau denda itu akhirnya akan menjadi pekerjaan tambahan bagi Pemkot Yogyakarta jika tak segera diantisipasi dengan baik. Prinsip pengelolaan sampah menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan pun akan sulit tercapai.
Saran Saving Cost untuk Pemkot Yogyakarta
Untuk menghindari malapetaka persampahan di Kota Yogyakarta perlu dilakukan transformasi komperhensif. Penerapan program nol sampah mestinya bisa menjadi momentum untuk menerapkan saving cost (menghemat biaya) pengelolaan sampah. Yaitu, dengan pola menahan sampah selama mungkin di sumber sampah dan di pengelola sampah.
Saving cost tidak sama dengan cutting cost (memotong biaya). Saving cost dapat berdampak pada bengkaknya anggaran pengelolaan sampah di awal-awal sistem diterapkan. Namun, setelah itu biaya pengelolaan sampah akan terus menyusut hingga jumlah yang sangat kecil. Bahkan, pada akhirnya Pemkot Yogyakarta justru mendapatkan income dari pengelolaan sampah di daerahnya.
Mengubah sesuatu yang tidak berharga menjadi sesuatu yang bernilai memang membutuhkan pikiran, tenaga, dan biaya. Meski demikian, jika sistem yang dibangun tidak sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sampah yang paling sederhana hingga yang paling rumit, maka pikiran tenaga dan biaya itu akan sia-sia semuanya.
Dengan saving cost Pemkot Yogyakarta dapat memenuhi semua kebutuhan pengelolaan sampah dan mengintervensi hingga rumah tangga dan kawasan timbulan sampah. Timbulan sampah juga bisa ditahan selama mungkin di timbulan sampah dan pengelola sampah.
Sampah yang dikelola di timbulan dan pengelola sampah akan mengurangi frekuensi pengangkutan sampah. Bukan hanya itu, sampah yang sudah dikelola di timbulan dan pengelola sampah sangat dimungkinkan tidak lagi menuju TPA, melainkan menjadi bahan baku daur ulang teknis, biologis, atau energi.
Setelah memenuhi segala kebutuhan pengelolaan sampah hingga rumah tangga dan kawasan, selanjutnya Pemkot Yogyakarta masih harus memberikan insentif. Pemberian insentif ditujukan pada setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengurangan sampah. Hal itu sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) Pasal 21 ayat (1) huruf a.
Pada UUPS Pasal 21 ayat (1) huruf b juga disebutkan tentang disinsentif. Pemkot Yogyakarta bisa menjadikan pasal itu untuk memperkuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 dalam penerapan sanksi atau denda. Namun, sekali lagi perlu diperhatikan bahwa sanksi dan denda baru bisa diterapkan jika Pemkot Yogyakarta telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya pada masyarakat.
Program Nol Sampah hanya Wacana
Telah banyak kabupaten/kota menerapkan program-program pengelolaan sampah hingga pelarangan-pelarangan. Ancaman sanksi, denda, hingga hukuman juga sudah disosialisasikan melalui berbagai media. Namun, semuanya kini hanya tinggal wacana seperti macan kertas.
Program-program pengelolaan sampah berakhir hanya sebagai wacana karena tidak ada pemetaan masalah, perencanaan, dan prioritas problem solving. Banyak missing link terjadi dalam berbagai program pengelolaan sampah karena tidak komperhensif dalam penyelesaian masalah.
Hal-hal seputar bagaimana memilah sampah, mengolah sampah, meningkatkan partisipasi masyarakat, menjual sampah, mendaur ulang, dan memasarkan hasil daur ulang masih banyak tak tersentuh. Akibatnya program pasti terhenti karena pola keberlanjutannya tidak ada. Sebanyak apapun anggaran yang masuk, tidak berguna.
Komitmen pemerintah adalah yang paling utama dalam pengelolaan sampah. Hal itu menjadi penentu dalam memenuhi aspek-aspek pengelolaan sampah dan prinsip menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.
Masyarakat sebenarnya adalah faktor yang paling mudah dikelola dan diatur. Selama komitmen pemerintah kokoh untuk benar-benar menyelesaikan persoalan sampah. Hal ini bukan berarti pengelolaan sampah hanya bergantung pada pemerintah saja.
Semua pihak tetap harus bersama-sama mendukung program pengelolaan sampah. Namun, pemerintah sebagai penyelenggara negara/daerah harus menjadi penanggung jawab terdepan sebagai "orang tua".
Dalam persampahan, perilaku masyarakat adalah cerminan dari perilaku pemerintahnya. Sebagaimana pepatah "buah jauh tak jauh dari pohonnya". (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H