Awalnya saat pacaran, sepasang kekasih akan saling jaga image. Menjaga diri masing-masing agar tak berperilaku yang bisa membuat pasangannya ilfeel (ilang feeling). Salah satunya menjaga agar jangan sampai kentut di hadapan si pacar.
Kentut memang tidak mendatangkan masalah besar. Justru jika tidak kentut berarti ada yang salah dalam sistem pencernaan seseorang. Di rumah sakit, seorang pasien baru boleh pulang dari rawat inap setelah operasi jika sudah bisa kentut. Konon, kalau tidak bisa kentut butuh biaya besar untuk bisa kentut lagi.
Alasan "masih bisa kentut gratis" atau "daripada tidak bisa kentut nanti operasi" akhirnya menjadi pembenaran untuk seseorang bisa buang angin sembarangan. Dari yang awalnya bikin ilfeel, karena kedekatan yang semakin akrab, mengentut kemudian dianggap biasa.
Bukan hanya dianggap biasa, mengentut akhirnya jadi bahan bercanda dan bahan tertawaan sampai jadi hobi. Yang terjadi kemudian saling mengentuti satu dengan yang lain dalam anggota keluarga. Padahal kentut dalam Islam adalah salah satu hadast.
Hadast berarti kotoran yang membatalkan kesucian dalam hal ini wudhu. Seorang yang kentut berarti batal wudhu-nya. Baik kentut itu berbunyi maupun tidak berbunyi, semuanya membatalkan wudhu. Seseorang tidak diterima sholatnya sampai dia berwudhu.
Islam melarang bunyi kentut sebagai bahan tertawaan untuk mencela seseorang maupun menjadikannya bahan bercanda. Menertawakan dan mencela kentut adalah perilaku jahiliyah.
Kentut Tidak Dilarang
Yang dilarang bukan kentutnya, tapi sikap dan perilaku menertawakan atau mencela bunyi kentut atau orang yang buang angin. Terlebih jika sengaja menyaringkan suara kentut agar jadi bahan tertawaan. Mencela orang karena kentutnya berbunyi nyaring juga dilarang.
Oleh karena itu Islam mengatur adab berkentut agar tidak mengganggu orang lain dan menghindarkan orang lain dari menertawakan atau mencela kentut dan orang yang berkentut. Orang Islam dilarang sebebas-bebasnya berkentut meski tidak dilarang.
Adab kentut yang demikian harus diawali dengan diterapkan di dalam rumah. Anggota keluarga diimbau agar tidak kentut sembarangan untuk alasan lucu-lucuan atau lainnya. Mintalah semua anggota keluarga agar menahan kentut dan membuangnya di mana tidak ada orang terganggu karena kentut itu.
Jika adab dan kebiasaan kentut tidak dilakukan di rumah, maka di luar rumah hal serupa akan dilakukan. Anggota keluarga kita akan terbiasa kentut sembarangan hingga terkenal sebagai tukang kentut.
Sebelumnya, antara kami sekeluarga menjadikan kentut sebagai bahan tertawaan dan celaan. Jika hati sedang baik, suara dan bau tidak enaknya kentut bisa jadi bahan bercandaan. Tapi jika hati sedang marah, suara dan bau kentut bisa jadi pemicu keributan dan pertengkaran di rumah.
Suatu hari akhirnya kami sepakat untuk menjalankan adab dan kebiasaan kentut sesuai agama. Kami berlakukan sanksi bagi anggota keluarga yang melanggar adab. Jika orang tua yang melanggar, maka si pelanggar harus mentraktir semua anggota keluarga dengan membelikan cokelat Silverqueen. Kalau anak-anak yang melanggar, mereka tidak akan dapat uang saku selama sepekan.
Syukurlah, sejak kesepakatan itu tidak ada lagi saling mengentuti, bercanda dengan kentut atau marah karena kentut. Sekeluarga akhirnya mampu menahan kentut lalu dibuang di tempat yang tidak mengganggu orang lain.Â
Adab dan kebiasaan tersebut akan menjadi kebiasaan di luar rumah. Dan secara kesopanan, menjaga adab dan kebiasaan dengan tidak kentut sembarangan lebih dihargai dalam pergaulan. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H