Dengan bertambahnya Kota Surabaya, berarti kini sudah ada 27 kabupaten/kota dan 3 provinsi yang mengeluarkan peraturan "pelarangan kantong plastik". Makin banyaknya kepala daerah mengeluarkan peraturan yang sama, maka makin terbukti banyak kepala daerah gusar, stres, dan tak mampu mengelola urusan persampahan.
Alih-alih mengantisipasi hulu persoalan kantong plastik, mereka sebenarnya tidak tahu dampak buruk dari kebijakan tersebut. Di sisi ekonomi kebijakan itu akan berdampak negatif pada masyarakat yang hidup dari produksi, distribusi dan daur ulang kantong plastik. Di sisi sosial, semakin banyak orang kehilangan sumber daya ekonomi, maka semakin miskin. Seorang kepala daerah mestinya memikirkan hal ini.
Di samping itu, Perda "pelarangan kantong plastik" menyalahi Undang Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Di mana semangat pengelolaan sampah dalam UUPS sesungguhnya lebih mengarah pada sirkulasi ekonomi khas Indonesia.Maka seharusnya secara teknis sampah lebih membutuhkan peraturan untuk meningkatkan pengelolaan yang baik, bukan pelarangan.
Namun, sebagaimana pemerintah lain yang sudah mengeluarkan perda "pelarangan kantong plastik", Kota Surabaya juga akan mengalami hal serupa. Perda itu tak akan ada gunanya, seperti tidak ada, dan tidak dihiraukan. Sebab, perda tersebut tidak relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Bahkan, jika ada pihak yang misalnya berinisiatif menggugat Walikota Surabaya, maka potensi kekalahan tergugat sangat tinggi. Sebab, perda itu banyak mengandung pelanggaran pada regulasi pengelolaan sampah lainnya serta bermuatan bisnis tidak sehat.
Masyarakat Kota Surabaya akan terus memakai kantong plastik. Entah itu kantong plastik ramah lingkungan atau tidak ramah lingkungan. Petunjuk perda untuk menjual kantong plastik ramah lingkungan bukan akan semakin mengurangi sampah kantong plastik tapi justru akan memperbanyaknya. Sebab, masyarakat merasa sudah membeli, maka kemudian mereka bebas untuk membuangnya.
Jika yang dimaksud kantong plastik ramah lingkungan itu adalah kantong plastik dengan bahan adiktif berbahan Oxium, maka tunggulah 4-5 tahun plastik itu akan terdegradasi. Banyak pihak percaya, plastik yang terurai lebih berbahaya karena sulit didaur ulang dan mikro plastik uraiannya bisa menyebar ke mana-mana.
Apabila yang dimaksud kantong plastik ramah adalah tas spunbond, maka lihatlah beberapa bulan ke depan tas-tas itu juga akan dibuang ke tempat sampah. Demikian juga dengan tas kertas, yang proses pembuatannya juga sama sekali jauh dari kata ramah lingkungan.
Persaingan Bisnis Berlabel Ramah Lingkungan
Label 'ramah lingkungan' saat ini tengah menjadi tren bisnis. Potensi pasarnya sekitar 130 juta jiwa orang yang sudah memiliki kesadaran lingkungan.
Namun, kesadaran cinta lingkungan yang belum komperhensif. Yaitu, kesadaran yang masih naif. Hanya terpaku pada hilir saja.
Klaim ramah lingkungan hanya sekadar tidak menambah sampah di TPA atau tempat sampah ilegal lainnya. Padahal ramah lingkungan tidak sesederhana itu.
Produk ramah lingkungan harus memenuhi syarat di hulu hingga hilir. Khusus plastik, sebenarnya ramah lingkungan juga. Karena di hulu memerlukan biaya yang murah, sedikit energi, sedikit listrik dan harganya terjangkau di pasar.
Sayangnya, plastik memang tidak ramah di hilir karena menyebabkan sampah. Sebaliknya, selain plastik memang ramah di hilir karena bisa terurai sendiri dalam waktu tertentu.
Namun, selain plastik biasanya tidak ramah lingkungan di bagian hulunya atau proses produksinya. Dia membutuhkan sumber daya organik yang banyak, energi yang mahal, air melimpah dan menghasilkan limbah yang berbahaya. Karena berbagai faktor itulah biasanya harganya mahal di pasar.
Sesungguhnya tidak ada produk ramah lingkungan. Semua produk pasti punya celah tidak ramah lingkungan di antara hulu atau hilirnya.
Maka itu, UUPS sebenarnya sudah mewanti-wanti supaya ada pengelolaan. Sebab, produk apapun akan menghasilkan sampah. Baik yang sekali pakai maupun yang berkali pakai. Baik yang tidak ramah lingkungan maupun yang ramah lingkungan, semua harus dikelola.
Fungsi pengelolaan sampah bukan hanya pada produk tidak ramah lingkungan, tapi juga pada produk yang mengklaim ramah lingkungan. Maka seharusnya tidak ada lagi persaingan bisnis mengatasnamakan 'ramah lingkungan'.
Namun, pelaku bisnis label “ramah lingkungan” terus saja memanfaatkan keawaman masyarakat pada regulasi persampahan. Nyatanya, bukan hanya masyarakat yang awam soal pengelolaan sampah sesuai regulasi. Kepala daerah pun banyak yang gagal paham.
Solusi Sampah Kota Surabaya: Pengelolaan Sampah Kawasan
Dari semua pembahasan terkait masalah sampah Kota Surabaya, nyatanya yang muncul ke permukaan hanya sekadar perda "pelarangan kantong plastik". Sebenarnya, kalau hanya untuk melarang penggunakan kantong plastik saja, Eri Cahyadi tidak perlu harus jadi Walikota Surabaya dulu, cukup kepala seksi pengurangan sampah saja.
Sekelas walikota mestinya membuat regulasi yang lebih kompleks untuk mewujudkan tata kelola sampah di Kota Surabaya yang menguntungkan semua pihak. Atau lebih baik Walikota Surabaya memerintahkan agar Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) membuat program untuk menjalankan regulasi-regulasi pengelolaan sampah yang sudah ada sebelumnya.
Misalnya memerintahkan Kepala DKRTH mengalokasikan dana untuk pembentukan tim pengelola sampah secara massif. Kemudian tim itu dianggarkan pembinaannya sampai SDM mumpuni membangun jejaring.
Dengan begitu tim kelola sampah akan mampu menginiasi pembentukan pengelola-pengelola sampah per kawasan.
Walikota seharusnya memerintahkan semua dinas untuk menganggarkan pelatihan, pembekalan atau apa saja namanya untuk mengubah mindset masyarakat. Yaitu agar kesadaran berperilaku memilah sampah dari rumahnya bisa diperluas dan massif.
Di sisi infrastruktur, Walikota hanya perlu memerintahkan agar dinas terkait menganggarkan pemenuhan infrastruktur penunjang untuk pemilahan sampah. Insfrastruktur yang mengintervensi masuk ke rumah-rumah.
Walikota juga harusnya memerintahkan agar semua perusahaan yang menjual produknya di Surabaya meredesain kemasannya. Supaya semua sisa produk bisa didaur ulang.
Walikota mestinya memerintahkan semua pengusaha yang berjualan produk di Surabaya melapor padanya. Laporan tentang berapa jumlah produk yang dijualnya dan potensi sampahnya. Dengan begitu walikota bisa tahu potensi sampah di seluruh Surabaya.
Sekali lagi. Kalau hanya sekadar melarang pakai kantong plastik, ketua RT juga bisa. Tidak perlu jadi Walikota Surabaya dulu.(nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H