Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Memahami Afiliator Artifisial Pengelolaan Sampah

30 Maret 2022   10:43 Diperbarui: 30 Maret 2022   20:25 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak alat dan mesin pengolahan sampah mangkrak di berbagai fasilitas pengolahan sampah. (Dokumentasi pribadi)

Dalam hal ini pihak yang optimis dengan PLTSa/PSEL sangat yakin bahwa teknologi ini bisa menyelesaikan persoalan sampah. Padahal, teknologi ini tak mungkin bisa menyelesaikan masalah sampah karena kapasitasnya tak pernah menyamai volume sampah yang timbul.

PLTSa/PSEL adalah solusi persampahan yang jelas dan nyata melanggar regulasi untuk menyelesaikan persoalan sampah. Keberadaan teknologi itu jelas akan mendorong masyarakat, pengelola kawasan, dan produsen produk untuk melanggar kewajiban untuk mengelola dan bertanggung jawab pada sampah atau sisa produknya. 

Sebab, PLTSa/PSEL berpotensi menjadi sentral penanganan sampah. Semua pihak akan abai pada sampah dan menyerahkan semua pengelolaan pada satu pihak saja, monopolistik.

Sementara itu, sampah yang tidak habis diolah dengan PLTSa/PSEL pada akhirnya juga akan dibuang ke TPA. TPA yang dimaksud hampir bisa dipastikan masih dioperasikan secara open dumping. Lagi-lagi melanggar regulasi tentang penutupan TPA open dumping. 

Kita bisa saksikan kondisi itu di Jakarta atau Surabaya yang sudah ada PLTSa/PSEL-nya. Sungguh sulit dipercaya bahwa sampah seluruhnya bisa diolah dengan PLTSa/PSEL, sementara tepat di sebelah fasilitas itu ada TPA yang tidak tampak berkurang sampahnya.

Begitu juga dengan kebijakan pelarangan kantong plastik. Kebijakan yang pada dasarnya justru mendorong pelanggaran terhadap pelarangan itu sendiri. Pelanggaran pada pelarangan penggunaan kantong plastik dilatarbelakangi masih tingginya kebutuhan masyarakat pada kantong plastik tersebut. 

Pelarangan kantong plastik kemudian mendorong satu pihak "menjual" kantong plastik dan masyarakat dengan sukarela tetap "membelinya". Alih-alih merasa sudah membayar, masyarakat akan berperilaku bebas membuang kantong plastik yang sudah dibelinya karena sudah "membayar" untuk membuang sampah. 

Sementara pihak penjual menganggap kantong plastik yang dijualnya adalah bagian tak terpisahkan atau satu paket dengan barang yang dijualnya dan itu harus dibayar.

Dua Kelompok Artifisial Persampahan

Dalam metode artifisial pengelolaan sampah ada 2 kelompok yang selalu melanggengkannya. Yaitu, kelompok pemikir dan kelompok pengikut.

Kelompok pemikir dalam metode artifisial pengelolaan sampah adalah mereka yang tahu, mengerti, dan paham mengenai segala aturan, kaidah, dan wawasan lingkungan mengenai pengelolaan sampah. Namun, kelompok ini memang mencari celah untuk bisa lepas dari peraturan, kaidah, dan wawasan lingkungan itu dalam pengelolaan sampah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun