Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Penggunaan Mikroba Dekomposer dalam Mengolah Sampah Organik

10 Februari 2022   08:46 Diperbarui: 11 Februari 2022   02:10 1910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak komposter hasil pengadaan pemerintah yang tidak dipakai karena salah proses. (Dokumentasi pribadi)

Sampah organik adalah bagian terbesar komposisi sampah di Indonesia. Jangan bandingkan dengan komposisi sampah Indonesia dengan negara lain. Pasti pasti beda.

Juga jangan samakan sampah Indonesia dengan sampah di negara lain. Pasti beda juga. Karena itu, teknologi pengolahan sampah di luar negeri jangan dibawa ke Indonesia. Yang di antaranya alat-alat dan mesin untuk membakar sampah.

Sebelum banyaknya wadah plastik, mungkin sampah di Indonesia 100% adalah sampah organik. Di antaranya sisa makanan, sisa masak dari dapur, dan wadah makanan dari dedaunan kuat nan lebar. Seiring teknologi berkembang, sampah organik Indonesia menjadi tinggal 60-70%.

Sampah organik yang 60-70% itu umumnya dibungkus dalam kantong plastik. Lalu dibuang. Diangkut tukang sampah atau petugas kebersihan ke TPS. Dari TPS ke TPA. Jadi gunung sampah dari waktu ke waktu sampai sekarang.

Jika Anda masuk ke TPA dan melihat gunungan sampah, itu sesungguhnya gunung sampah organik. Anggap saja hanya 30%-nya saja yang anorganik. Dan 30% sampah anorganik itu yang menghambat dekomposisi sampah organik.

Hambatan dekomposisi sampah organik itu menyebabkan TPA menjadi bau. Bau itu adalah gas metana yang muncul dari proses kimia alami karena macam-macam sampah tercampur itu. Mencemari udara.

Selanjutnya, proses itu menghasilkan air lindi yang juga bau tidak enak. Menyerap ke dalam tanah dan menyebar. Mencemari tanah.

Lindi dari sampah yang terus menerus masuk ke dalam tanah, akhirnya mencemari air. Air ikut bau. Tidak sehat dikonsumsi. Maka jangan heran jika kawasan sekitar TPA tak produktif lagi jika sebelumnya adalah sawah, kebun, ladang, atau tambak.

Padahal, andai dipilah sejak dari sumbernya. Semua kerugian pada lingkungan dan manusia itu tidak akan terjadi. Justru sampah organik dan juga sampah anorganik akan memberi keuntungan.

Sampah anorganik seperti plastik dan lainnya yang bisa didaur ulang bisa dikirim ke industri pendauran ulang. 

Sampah organik bisa diolah sendiri, dipakai sendiri, atau dikirim ke pengolah sampah organik. Biasanya dijadikan pupuk organik.

Kegagalan Dekomposisi  Sampah Organik

Karena ingin cepat beres tanpa repot-repot mengedukasi mengelola sampah, pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah berinisiatif pada program insenerator dan PLTSa. 

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Sampah dibakar untuk hasilkan listrik. Ada yang sudah membangunnya, tapi tak maksimal juga mengurangi gunung sampah di TPA.

Teknologi insenerator dan PLTSa ini banyak diadopsi dari negara-negara Eropa. Tentu karena teknologi insenerator sampah jadi listrik cocok dengan komposisi sampah di sana.

Untuk Indonesia, teknologi ini kurang bahkan tidak cocok. Karena karakteristik sampah di Indonesia basah. Sampah organik di Indonesia cenderung basah. Karena kita suka makan makanan berkuah. Ditambah lagi jika musim hujan, sampah makin basah.

Sampah organik basah dengan kadar air tinggi sulit dibakar dengan insenerator. Harus menunggu dikeringkan 7-10 hari. Itu pun kapasitas insenerator membakar sampah juga tak seimbang dengan sampah yang datang.

Teknologi insenerator ini sebenarnya hadir gara-gara upaya mendekomposisi sampah organik dianggap gagal. Penyebabnya adalah komposter yang asal-asal dan mikroba yang dipakai tidak efektif.

Dua kunci dekomposisi pengolahan sampah organik adalah wadah dan mikrobanya. Misalnya wadahnya (komposternya) sudah benar, mikrobanya yang salah. Dan rata-rata yang terjadi demikian.

Di sejumlah daerah banyak komposter hasil pengadaan pemerintah atau lainnya mangkrak. Tidak terpakai. Jadi tempat sampah tercampur. Itu karena sampah organik yang dimasukkan, lalu diaplikasi mikroba di dalamnya ternyata tidak terdekomposisi.

Akibat mikroba dekomposer tidak bekerja dengan benar, komposter cepat penuh. Jika mikroba yang dipakai benar, sampah organik akan terdekomposisi dengan baik.

Dekomposisi sampah yang sesuai kaidah akan membuat sampah organik cepat terurai dan komposter tidak akan cepat penuh. Dalam waktu cepat (sekitar 5-7 hari) sampah organik yang diurai akan mengecil secara volume.

Dalam komposter yang benar, proses dekomposisi dengan mikroba yang benar akan sangat kecil menimbulkan gas metana. Sehingga bau tak sedap yang biasa ditimbulkan jauh berkurang, alih-alih dikatakan tidak bau.

Proses komposter dan dekomposisi yang benar akan menghasilkan cairan yang bisa dijadikan pupuk juga. Jadi hasilnya dua, kompos atau pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Hasil proses itu bisa dipakai sendiri oleh warga atau rumah tangga penimbul sampah.

Dalam pengelolaan skala kawasan atau luas, tentu pengolahan sampah organik itu bisa jadi peluang ekonomi. Karena itulah begitu penting pengelolaan sampah berikut perlengkapan dan pemahaman yang benar dalam prosesnya. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun