"Di masa orde baru, wartawan itu ibarat pilot dan media ibarat pesawat. Harus terlatih betul sebagai pilot untuk menerbangkan pesawat. Begitu masuk reformasi. Tukang becak pun jadi pilot. Akhirnya pesawat nabrak-nabrak tidak karuan."
Demikian pernah disampaikan KH. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus. Dalam suatu ceramah yang sempat menyentil tentang "Kiai Media". Yakni, seseorang yang jadi kiai bukan karena ilmunya. Tapi karena dijadikan kiai oleh media massa yang sering memberitakannya seseorang itu.
Tak bisa dipungkiri. Kurang dan lebihnya yang disampaikan Gus Mus itu ada benarnya. Sejak masa itu, media massa begitu riuhnya. Setelah masa reformasi media massa bertumbuh seperti jamur di musim hujan. Sementara media yang kredibel seperti jarum dalam tumpukan jerami.
Semakin ke kini, media semakin banyak. Tak terbatas lagi pada media cetak, elektronik (telivisi dan radio), dan media online. Perkembangan media sosial membuat siapapun bisa jadi wartawan.Â
Semua punya nilai dan keunggulannya masing-masing. Sekaligus dengan kelemahan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Setiap media memiliki kepentingan. Indenpendensi media massa mungkin menjadi yang paling berharga saat ini. Dibanding keakuratan, kefaktualan, atau kecepatan berita. Yang semua seolah menjadi tidak penting lagi bagi pembacanya.
Demikian juga pembaca. Mereka juga punya kepentingan masing-masing. Menganggap benar, faktual, dan akurat suatu berita yang sesuai dengan mereka sendiri. Lalu membagikannya pada ekosistemnya.
Namun, daripada pembaca media massa yang punya kepentingan, lebih banyak lagi pembaca yang butuh kebenaran. Maka itu sangat masuk akal jika Dahlan Iskan ingin membagi kasta untuk wartawan.
Keinginan itu disampaikan Dahlan Iskan pada saat diundang podcast Youtube dengan tuan rumah Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com., awal Februari 2022. Bos besar Jawa Pos yang kini melepasnya dan membuat media baru DIsWay itu mau menjadikan wartawan media cetak sebagai kasta tertinggi.Â
Jelas karena mantan Menteri BUMN itu lahir, besar, dan berbasis media cetak. Hal yang pasti tak akan disetujui wartawan lain di jagat media berbasis non-cetak.Â
Ide menciptakan kasta dalam profesi wartawan itu sebenarnya penting. Untuk menjadi indikator profesionalisme seorang wartawan. Namun tentu tidak bisa didasarkan dan ditentukan pada media apa wartawan itu berkiprah.Â
Dikotomi Media Sudah Tidak Relevan
Saat ini mengkotak-kotakkan media massa sudah tidak relevan lagi. Media cetak, media elektronik, media online, atau bahkan media sosial secara umum sudah jadi satu kategori : media massa.Â
Maka menjadikan wartawan media cetak sebagai wartawan dengan kasta tertinggi, dan menjadikan wartawan media sosial sebagai wartawan kasta terendah tidak akan diterima secara umum. Baik oleh kalangan wartawan sendiri atau masyarakat umum sebagai pembaca.
Pemeringkatan wartawan dalam kasta mungkin lebih bisa diterima jika indikatornya lebih profesional. Misalnya, dikembalikan pada indikator berdasarkan kode etik jurnalis.Â
Memang berat mengkastakan wartawan sesuai kode etiknya sendiri. Namun, jika dipahami dengan baik dan benar, maka mungkin wartawan media-media kecil mempunyai kasta yang lebih tinggi daripada media besar dan terkenal. Misalnya karena wartawan media kecil lebih patuh kode etik daripada media besar.
Atau sebaliknya. Media besar, karena wartawannya menjaga nama medianya, menjadi lebih patuh pada kode etik. Maka pantas jugalah dia mendapat kasta tertinggi di kalangan wartawan.
Kompetisi Wartawan Mendapat Kasta Tertinggi
Pembagian kasta selanjutnya harus diimplementasikan, diterapkan, atau jika perlu dikompetisikan. Seperti di Amerika Serikat ada Pulitzer Prize sebagai penghargaan tertinggi karya jurnalistik bagi wartawan media cetak. Termasuk karya lainnya seperti kesenian dan foto.
Perlu Pulitzer Prize ala Indonesia. Untuk memicu karya-karya jurnalistik yang sesuai standard dan mutu kewartawanan. Pemenang penghargaan tertinggi itulah kasta tertinggi wartawan. Jika pemenangnya adalah wartawan media online, maka wartawan media online yang lain akan ikut bangga dan ikut menikmati kasta tersebut.
Demikian juga jika wartawan dari media massa lain yang menang penghargaan itu. Dengan itu mungkin bisa memicu lahirnya wartawan-wartawan yang handal untuk pantas menempati kasta tertinggi di kalangan wartawan. Tanpa terkecuali dan tak dibatasi dikotomi platform media massanya. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H