Definisi EPR dalam regulasi pertama muncul di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah. Disebutkan pada Pasal 1 poin 3: EPR adalah strategi yang didisain dalam upaya mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam seluruh proses produksi suatu barang sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi sehingga biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.
Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 itu kemudian dicabut, diganti dengan Permen LHK Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah pada Bank Sampah. Di peraturan baru ini, definisi tentang EPR hilang. Jangankan membahas EPR, satu katapun menyebut EPR tidak ada.
Bahkan, dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen, sepatah kata EPR sama sekali tak ada. Padahal, KLHK dengan bangganya sering menyebut peraturan itu akan menjadi implementasi penerapan EPR di Indonesia.Â
Bagaimana mungkin peraturan yang mengatur tentang EPR sama sekali tak menyebutkan EPR di dalamnya?
Maka, sejak Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 dicabut, tak ada satu pun regulasi persampahan yang secara explisit menyebut EPR. Sebagai bangsa yang cerdas, tentu kita tahu bagaimana ini bisa terjadi. Jadi pantas jika muncul berbagai spekulasi.Â
Sederhananya Sistem EPR dari Rakyat
Sebagaimana definisi EPR yang ada di Permen LH Nomor 13 Tahun 2012, produsen benar-benar sama sekali tidak perlu khawatir, takut, apalagi menolak EPR. Karena di Indonesia, jelas-jelas EPR tak akan menggunakan uang perusahaan produsen. EPR dibayar rakyat sebagai konsumen yang dimasukkan dalam mekanisme harga.
Produsen sama sekali tak dirugikan dalam hal EPR. Karena yang membayarkan EPR adalah konsumen atau rakyat yang membeli produk mereka. Perusahaan produsen hanya perlu membayarkan di muka EPR itu pada pemerintah atau lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengelola EPR itu.
Dana EPR yang dibayarkan oleh perusahaan produsen akan diganti impas dan tunai melalui pembelian yang dilakukan masyarakat. Sesederhana itulah EPR. Kenapa dibikin ribet seolah-seolah EPR itu kiamat bagi perusahaan produsen?
Mungkinkah karena produsen takut keuntungannya terbagi? Tidak. EPR sama sekali tidak akan mengurangi keuntungan produsen. Karena rakyat sebagai konsumen yang membayarnya dan akan kembali ke rakyat.
Mungkinkah produsen takut EPR karena tak mau jumlah produk yang dijualnya diketahui pemerintah? Tidak juga. Selama ini kan mereka selalu melaporkan jumlah produksinya untuk penarikan pajak.