Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tahun 2022, Deadline Penerapan Tanggung Jawab Produsen Sampah

3 Januari 2022   10:37 Diperbarui: 3 Januari 2022   10:45 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahun 2022 ini semua produsen produk/kemasan harus menerapkan tanggung jawab pada sampahnya. (Dokumentasi pribadi)

Tahun 2022 ini penerapan polluters pay principal (produsen sampah membayar) di Indonesia seharusnya dilaksanakan.  Tapi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tampaknya belum memperlihatkan greget. Geliat Kementerian LHK akan menerapkan prinsip tanggung jawab produsen sampah melalui Extented Producer Responsibility (EPR) belum terasa sama sekali. Hanya sekadar mendukung produsen agar bisa mengelola sampahnya "sebisa mungkin".

Telah banyak beredar dan diketahui bahwa pelaksanaan EPR akan dilakukan pada 2022. Sama banyak terkenalnya dengan target "Indonesia Bersih 2020" yang gagal dan Kementerian LHK mengubahnya menjadi "Indonesia Bersih 2025". Semoga  target pelaksanaan EPR pada 2022 tidak gagal juga?

Dikutip dari artikel berjudul Integrasi Bank Sampah dalam Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) yang dibuat R. Sudirman, saat menjabat Direktur Pengelolaan Sampah, KLHK yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Bank Sampah di Makassar, 16-17 September 2015 lalu, pengertian EPR adalah sebagai berikut:

"Secara lebih sederhana Organisation for Economic Co-operation Development (OECD) mengartikan EPR sebagai strategi yang didesain dalam upaya mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan ke dalam seluruh proses produksi suatu barang sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi (end of life) sehingga biaya-biaya lingkungan untuk penarikan kembali, daur ulang, biaya final disposal atau treatment lainnya menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.

Dengan strategi EPR tersebut, para produsen harus bertanggungjawab terhadap seluruh life cycle produk dan/atau kemasan dari produk yang mereka hasilkan. Ini artinya, perusahaan yang menjual dan/atau mengimpor produk dan kemasan yang potensi menghasilkan sampah wajib bertanggungjawab, baik secara finansial maupun fisik, terhadap produk dan/atau kemasan yang masa pakainya telah usai."

Dalam artikel itu Pak Sudirman cukup rinci menjelaskan mekanisme pelaksanaan EPR. Tentang aturan main yang harus dilengkapi.

Tapi sekarang, Pak Sudirman sudah bukan lagi Direktur Pengelolaan Sampah di KLHK. Digantikan oleh Novrizal Tahar.Akhir 2019 lalu saya menemuinya di Kabupaten Mojokerto -- Jawa Timur. Ditanya tentang persiapan EPR, Novrizal mengatakan akan segera melaksanakan konferensi pers.

Sementara itu, Asrul Hoesein, Direktur #GIF yang getol memperhatikan kinerja Kementerian LHK 'yakin persiapan EPR masih mentah.

Menurut Asrul, hingga saat ini Kementerian LHK belum punya persiapan. Mulai dari bagaimana EPR akan dipungut sampai ke proses penyaluran EPR setelah dipungut.

Hingga kini belum jelas produsen yang mana yang akan dipungut EPR. Padahal sejumlah produk ada yang tidak membuat kemasannya sendiri. Mereka membeli kemasan dari produsen lain untuk bungkus/kemasan produknya.

Pada kondisi tersebut siapa yang akan dipungut EPR-nya? Apakah produsen pembuat kemasan, produsen pengguna kemasan, ataukah penjual produk yang sudah dikemas itu?Jika dibagi pungutan EPR-nya, berapa persen yang akan ditanggung produsen kemasan, pengguna kemasan dan penjual produk jadinya?

Itu baru membahas satu produk misalnya makanan atau minuman. Selanjutnya, bagaimana cara memungut EPR dari barang lain seperti barang elektronik, alat transportasi (dari sepeda hingga pesawat), pakaian, alat kesehatan, alat tukang dan lain sebagainya. Sebab, semua itu pada akhirnya berpotensi sampah.

Setelah aturan main pemungutan EPR dibuat, maka mekanisme pelaksanaan pungutan itu juga harus diatur. Yaitu bagaimana EPR itu akan diambil dari produsen.

Nilai EPR dari setiap produk harus jelas. Kemudian, bagaimana cara memungutnya dari produsen dan apa dasarnya. Apakah sejumlah yang sudah diproduksi atau sejumlah produk yang akan diproduksi?

Dan, bagaimana pemerintah mengetahui jumlah EPR yang akan dipungut atau disetor produsen itu sudah sesuai dengan yang semestinya. Lalu, kapan EPR itu akan dipungut? Siapa yang akan memungutnya? Lalu, dimasukkan ke pos anggaran yang mana dan masuk nomenklatur apa?

Kalau EPR sudah dipungut pekerjaan selanjutnya adalah kepada apa, siapa, kapan, di mana, kenapa dan bagaimana EPR itu akan disalurkan?

EPR Rawan Bancakan Korupsi

Mekanisme penyaluran ini harus tersistem betul dan ketat. Ancaman pengelolaan EPR tentu saja bancakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sudirman pada 2015 lalu rupanya hendak menghubungkan dan menyalurkan EPR pada pengelola sampah berupa bank sampah. Sudirman ingin bank sampah yang berprinsip social engineering (perekayasa sosial).

Prinsip bank sampah social engineering ini juga sering digaungkan oleh Asrul. Sehingga bank sampah bisa menjadi agen EPR di tingkat bawah. Sayangnya bank sampah kebanyakan sudah bukan perekayasa sosial lagi melainkan berbisnis sampah. 

Jika bank sampah tetap berbisnis sampah, maka bank sampah bisa dicoret dari calon pengelola EPR. EPR kemudian dipakai untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sebagai insentif pada masyarakat yang mau mengelola sampahnya.

Sekarang sudah masuk tahun 2022. Banyak orang pesimis pada pemerintah-terutama Kementerian LHK akan sesuai target memberlakukan EPR.Wajar saja keraguan itu muncul. Karena hingga saat ini memang belum ada edukasi dan sosialisasi tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi EPR akan diterapkan.

Permen LHK Nomor P.75/2019 Bukan Regulasi Penerapan EPR

Dalam berbagai kesempatan acara webinar, Kementerian LHK kerap melontarkan wacana mengenai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Oleh Kementerian LHK peraturan ini dianggap sebagai regulasi penerapan EPR di Indonesia. Padahal, penerapan EPR diamanatkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

Kepercayaan diri Kementerian LHK menerbitkan dan memberlakukan Permen LHK Nomor P.75/2019 patut diacungi jempol. Namun, peraturan itu tidak akan banyak berguna. Karena sesungguhnya peraturan itu secara teknis bertujuan "menekan" produsen agar mengurangi sampah dengan target 30 persen. Target itupun diproyeksikan akan tercapai pada 2030 mendatang.

Melihat target volume dan dan target waktu peraturan tersebut, maka tampak sangat tidak relevan dengan kondisi saat ini. Sebab, masalah sampah di Indonesia harus segera diatasi saat ini juga, tidak perlu menunggu tahun 2030 mendatang seperti target Permen LHK Nomor P.75/2019 itu.

Untuk itulah, penerapan EPR di Indonesia yang cocok dengan kondisi Indonesia harus segera dilaksanakan. Penerapan EPR merupakan hasil kolaborasi berbagai kementerian yang lini-lininya menghasilkan dan terlibat dalam pengelolaan sampah. Kementerian LHK tentu bukan satu-satunya kementerian yang punya kewenangan mengurus sampah. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun