Langkah Pemkot Yogyakarta menyediakan tempat sampah dengan tanda dan logo seperti disebut di atas adalah langkah yang baik. Namun, langkah itu menjadi percuma dan tidak ada gunanya karena tidak ada edukasi dan sosialisasi yang masif pada semua yang ada di Malioboro sebagai calon penimbul sampah.
Karena minimnya edukasi dan sosialisasi, maka keberadaan infrastruktur yang sudah lengkap sekalipun akan percuma. Perilaku masyarakat kita belum ber-mindset memilah sampah, melainkan membuang sampah pada tempatnya. Jadi, tidak buang sampah sembarangan saja sudah bagus.
Maka sebaiknya Pemkot Yogyakarta menyiapkan rencana edukasi dan sosialisasi pada semua orang dan pihak yang ada di Malioboro. Karena mereka semua adalah calon penimbul sampah. Baik itu orang yang berjualan macam-macam makanan, minuman, atau aksesoris dan oleh-oleh lainnya.
Bentuk Pengelola Sampah Kawasan
Untuk bisa melaksanakan edukasi dan sosialisasi secara masif maka Pemkot Yogyakarta harus melibatkan masyarakat. Dengan cara membentuk pengelola sampah kawasan semacam bank sampah atau TPS 3R, tapi bank sampah dan TPS 3R yang sesuai regulasi. Yaitu, bank sampah atau TPS 3R yang berfungsi dan bertugas sebagai perekayasa sosial, mengubah perilaku semua yang ada di Malioboro dalam memperlakukan sampah.
Personel bank sampah dan TPS 3R inilah yang akan menjadi garda terdepan edukasi dan sosialisasi pengelolaan sampah di Malioboro. Edukasi dilakukan pada para penjual di Malioboro agar mengelola sampah di tempatnya.Â
Dan supaya penjual mau mengingatkan pembelinya untuk "menaruh" sampah sesuai tanda dan logo tempat sampah yang tersedia. Penjual di Malioboro akhirnya ikut serta dalam proses sosialisasi pengelolaan sampah oleh pengunjung.
Bank sampah atau TPS 3R tidak cukup hanya dengan mengedukasi penjual, karena pembeli atau pengunjung kadang masih abai meski sudah diingatkan. Maka, bank sampah atau TPS 3R Malioboro harus standby di sekitar tempat-tempat sampah. Tujuannya, mengarahkan pengunjung agar melihat dulu logo atau tanda tempat sampah sebelum "menaruh" sampahnya.
Edukasi perlu dilakukan secara berkala, misalnya setiap satu atau dua bulan sekali. Jika para penjual tidak bisa dikumpulkan untuk ikut kegiatan edukasi (karena tidak bisa meninggalkan dagangannya), mereka bisa dibuatkan sistem edukasi tertulis. Serahkan edukasi tertulis itu para penjual.
Sementara sosialisasi pemilahan sampah pada pengunjung Malioboro tidak boleh berhenti. Harus berjalan terus sepanjang Yogyakarta dan Malioboro masih dikunjungi orang.