Namun, di luar negeri tidak sampai mengimpor pakaian bekas dari negeri lainnya. Thrifting hanya terjadi di lingkup negeri itu. Orang kaya atau orang yang sudah bosan dengan pakaiannya akan menjualnya dengan cara lelang atau dikenal dengan pre-loved, atau ada juga yang disumbangkan pada lembaga amal untuk dipakai mereka yang membutuhkan.Â
Selain Indonesia sangat sedikit negara lain yang jadi surganya thrift. Karena sistem pengelolaan sampah sudah berjalan baik. Prinsip polluters paying (produsen sampah membayar) jelas dan tegas diberlakukan di negara lain.Â
Sehingga, orang luar negeri tak berani mengekspor thrift dan yang di dalam negeri tak berani mengimpornya. Karena sama-sama akan dikenakan pembayaran atas potensi sampah tersebut.
Thrift Adalah Potensi Sampah Garmen dan Tekstil
Implementasi pola reuse (guna ulang) dengan thrift ini memang bisa ditoleransi. Namun sampai kapan pola reuse pada thrift ini akan berlangsung. Garmen dan tekstil yang dibentuk menjadi pakaian itu ada umurnya, suatu saat sudah tidak bisa dipakai lagi. Lalu setelah itu mau diapakan pakaian-pakaian itu?
Masa depan thrift yang akan menjadi sampah garmen dan tekstil itu adalah keniscayaan yang nyata dan pasti. Saat masih dipakai memang tampak tak akan rusak dan aman, tapi nanti pasti berjalannya waktu akan kusam, sobek, dan rusak. Kondisi pakaian semahal dan bermerek sebagus apapun akan jadi sampah pada akhirnya.Â
Untuk inilah seharusnya pemerintah harus tegas menjalankan regulasi. Setiap sampah dan apapun yang berpotensi menjadi sampah apabila masuk Indonesia harus memenuhi syarat regulasi. Salah satunya bertanggung jawab pada end of life phase produk tersebut. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H