Thrift adalah istilah kekinian untuk pakaian second alias bekas. Dulu pasarnya hanya menyentuh segmen low-end alias elit (ekonomi sulit). Dulu di Surabaya bisa ditemui Pasar Gembong atau di Pasar Minggu Pagi di sekeliling areal Tugu Pahlawan.
Sekarang, segmen thrift sudah meningkat sedikit. Masuk ke kalangan middle-low. Tetap elit (ekonomi sulit) tapi ingin mengenakan pakaian bermerek terkenal. Entah untuk menutupi keelitannya atau ingin mencicipi sisa kenyamanan pakaian mahal (bermerek terkenal).
Pakaian-pakaian thrift ini berasal dari Korea, Jepang, Amerika, Cina dan banyak negara lainnya yang diimpor ball-ballan (istilah untuk kemasan impor pakaian bekas). Semua ada mulai dari topi, baju, jaket, hodie, kaos dalam, celana panjang, celana pendek, bahkan celana dalam sampai bra, tas, sepatu dan sandal.
Sekarang model penjualannya online, live, media sosial hingga distro. Yang disasar antara lain anak-anak muda sadar merek. Kondisi thrift pada umumnya sangat layak pakai bahkan seperti baru.
Thrift Sebenarnya Sampah Pakaian
Fenomena thrift itu terjadi karena buruknya tata kelola sampah di Indonesia. Thrift sebenarnya adalah sampah pakaian dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.Â
Jadi, Indonesia menjadi tempat sampah pakaian orang luar negeri. Parahnya, sampah-sampah pakaian itu dibeli oleh orang-orang kita sendiri sebagai importir thrift. Yang kemudian, setelah sampai di Indonesia sampah pakaian itu laris manis juga dibeli orang.
Padahal mestinya, pembuang-pembuang sampah pakaian itulah yang harus membayar. Membayar jasa lingkungan pada pelaku importir thrift yang sudah membebaskan negara tertentu dari sampah pakaian.Â
Kemudian, sampai di Indonesia thrift itu mestinya juga dibagikan secara gratis atau jika perlu orang yang mau memakainya diberi insentif karena sudah melakukan upaya pengurangan sampah pakaian dengan tidak membeli baju baru melainkan memakai thrift.
Sampah pakaian adalah masalah dunia. Recycle rate-nya sangat rendah. Maka tak mengherankan jika perdagangan thrift antar negara begitu marak. Tujuannya untuk menutupi tanggung jawab korporasi pada sisa produk pakaian dari ujung kaki hingga ujung kepala.Â
Thrift diperdagangkan seolah-olah barang ini adalah sesuatu yang masih berharga. Â Padahal jelas-jelas thrift adalah sampah pakaian orang-orang luar negeri.Â
Kalau bukan sampah, bagaimana bisa barang ini bisa tersedia begitu kontinyu dan acak? Sementara kontinyuitas dan acak adalah dua dari sekian banyak karakteristik sampah yang bisa dikelola dengan metode bisnis (Baca: Bisnis Sampah Adalah Bisnis Unlimited).
Thrift adalah pakaian-pakaian berbagai merek terkenal seperti Adidas, Puma, Fila, Reebok, Nike, Columbia, H&M, Polo, Gucci, LV, The North Face, Marvel, Uniqlo, dan sangat banyak lagi merek-merek pakaian terkenal lainnya.Â
Merek-merek ini di Indonesia memang tergolong pakaian-pakaian mahal dalam kondisi baru di toko dan di mall-mall.
Menyikapi Fenomena Thrift
Jika fenomena thrift digolongkan pada implementasi reuse dalam sistem persampahan, itu masih bisa dimaklumi. Namun, negara dalam hal ini pemerintah mestinya mendapatkan kompensasi dari negara-negara pengekspor thrift, dan perusahaan-perusahaan produsen pakaian tersebut.Â
Namun, hal itu akan terjadi jika tata kelola sampah di Indonesia berjalan dengan baik dan benar sesuai regulasi.Â
Sebab, jelas-jelas dalam regulasi dicantumkan larangan mengimpor sampah dari luar negeri jika syarat dan ketentuan yang berlaku tidak dijalankan. Thrift adalah sampah pakaian dari luar negeri baik yang bisa dipakai lagi atau tidak.Â
Sebenarnya di luar negeri juga ada fenomena thrifting (jual beli pakaian bekas). Banyak artis Hollywood yang secara terang-terangan kerap mengenakan pakaian thrift.Â
Namun, di luar negeri tidak sampai mengimpor pakaian bekas dari negeri lainnya. Thrifting hanya terjadi di lingkup negeri itu. Orang kaya atau orang yang sudah bosan dengan pakaiannya akan menjualnya dengan cara lelang atau dikenal dengan pre-loved, atau ada juga yang disumbangkan pada lembaga amal untuk dipakai mereka yang membutuhkan.Â
Selain Indonesia sangat sedikit negara lain yang jadi surganya thrift. Karena sistem pengelolaan sampah sudah berjalan baik. Prinsip polluters paying (produsen sampah membayar) jelas dan tegas diberlakukan di negara lain.Â
Sehingga, orang luar negeri tak berani mengekspor thrift dan yang di dalam negeri tak berani mengimpornya. Karena sama-sama akan dikenakan pembayaran atas potensi sampah tersebut.
Thrift Adalah Potensi Sampah Garmen dan Tekstil
Implementasi pola reuse (guna ulang) dengan thrift ini memang bisa ditoleransi. Namun sampai kapan pola reuse pada thrift ini akan berlangsung. Garmen dan tekstil yang dibentuk menjadi pakaian itu ada umurnya, suatu saat sudah tidak bisa dipakai lagi. Lalu setelah itu mau diapakan pakaian-pakaian itu?
Masa depan thrift yang akan menjadi sampah garmen dan tekstil itu adalah keniscayaan yang nyata dan pasti. Saat masih dipakai memang tampak tak akan rusak dan aman, tapi nanti pasti berjalannya waktu akan kusam, sobek, dan rusak. Kondisi pakaian semahal dan bermerek sebagus apapun akan jadi sampah pada akhirnya.Â
Untuk inilah seharusnya pemerintah harus tegas menjalankan regulasi. Setiap sampah dan apapun yang berpotensi menjadi sampah apabila masuk Indonesia harus memenuhi syarat regulasi. Salah satunya bertanggung jawab pada end of life phase produk tersebut. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H