Sampah pakaian adalah masalah dunia. Recycle rate-nya sangat rendah. Maka tak mengherankan jika perdagangan thrift antar negara begitu marak. Tujuannya untuk menutupi tanggung jawab korporasi pada sisa produk pakaian dari ujung kaki hingga ujung kepala.Â
Thrift diperdagangkan seolah-olah barang ini adalah sesuatu yang masih berharga. Â Padahal jelas-jelas thrift adalah sampah pakaian orang-orang luar negeri.Â
Kalau bukan sampah, bagaimana bisa barang ini bisa tersedia begitu kontinyu dan acak? Sementara kontinyuitas dan acak adalah dua dari sekian banyak karakteristik sampah yang bisa dikelola dengan metode bisnis (Baca: Bisnis Sampah Adalah Bisnis Unlimited).
Thrift adalah pakaian-pakaian berbagai merek terkenal seperti Adidas, Puma, Fila, Reebok, Nike, Columbia, H&M, Polo, Gucci, LV, The North Face, Marvel, Uniqlo, dan sangat banyak lagi merek-merek pakaian terkenal lainnya.Â
Merek-merek ini di Indonesia memang tergolong pakaian-pakaian mahal dalam kondisi baru di toko dan di mall-mall.
Menyikapi Fenomena Thrift
Jika fenomena thrift digolongkan pada implementasi reuse dalam sistem persampahan, itu masih bisa dimaklumi. Namun, negara dalam hal ini pemerintah mestinya mendapatkan kompensasi dari negara-negara pengekspor thrift, dan perusahaan-perusahaan produsen pakaian tersebut.Â
Namun, hal itu akan terjadi jika tata kelola sampah di Indonesia berjalan dengan baik dan benar sesuai regulasi.Â
Sebab, jelas-jelas dalam regulasi dicantumkan larangan mengimpor sampah dari luar negeri jika syarat dan ketentuan yang berlaku tidak dijalankan. Thrift adalah sampah pakaian dari luar negeri baik yang bisa dipakai lagi atau tidak.Â
Sebenarnya di luar negeri juga ada fenomena thrifting (jual beli pakaian bekas). Banyak artis Hollywood yang secara terang-terangan kerap mengenakan pakaian thrift.Â