Akhir tahun 2020, KPK menyampaikan pernyataan yang cukup kontroversi berkaitan dengan proyek sampah yang menjadi proyek strategis nasional pemerintah pusat. Yaitu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang diubah istilahnya menjadi Pengolah Sampah "jadi" Energi Listrik (PSEL).
Melalui Deputi Pencegahan Korupsi, Pahala Nainggolan, KPK menyatakan sedang menyoroti proyek PSEL yang biayanya mencapai Rp 3,6 triliun. Di mana beban setelah proyek pembangunan PSEL tersebut dibebankan pada pemerintah daerah. Setiap ton sampah dikenai beban Rp 310 ribu dari APBD oleh pengelola PSEL.Â
Siapa pengelola PSEL? Swasta.
Maka itu, KPK menyatakan proyek PSEL akan merugikan negara dan hanya menguntungkan swasta saja. Kontrak selama 25 tahun dengan tipping fee sebesar Rp 310 ribu per ton jelas membebani APBD yang nanti pasti akhirnya akan membebani APBN dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang alokasi pendanaan pengelolaan sampah untuk daerah. yang sudah kita bahas di atas.
Kalau satu daerah sampahnya 2.800 ton per hari, bisa dibayangkan berapa banyaknya anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengolah sampah jadi listrik hingga 25 tahun kontrak. Setelah jadi listrik, yang menjual juga pihak swasta. Tanpa memberi keuntungan apa-apa pada pemerintah daerah. Harga listriknya juga mahal, PLN dipaksa membeli berdasarkan regulasi tentang Energi Baru Terbarukan (EBT).Â
PLN yang sudah punya sumber energi sebenarnya tidak butuh listrik dari PSEL. Tapi terpaksa membeli, walau mahal, meski tidak butuh, dan hanya menambah pengeluaran.
Sudah jelas-jelas semua yang dinyatakan KPK mengandung kebenaran dengan analisa yang matang. Tapi, sorotan dan analisa itu dicueki. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten masih ngotot saja membangun proyek PSEL. Kalau bukan mau korupsi, apa lagi? (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H