Akhirnya, pihak yang melakukan sentralisasi pengelolaan sampah kewalahan. Dagangan "daging empuk" sampah nyatanya tidak bisa mengimbangi masalah "tulang" yang tidak bernilai jual.
Sebagian besar sampah memang sulit diperdagangkan. Inilah "tulangnya" sampah. Karena tidak bisa didaur ulang secara teknis dan tidak punya teknologi untuk daur ulang biologis.
Akhirnya, "tulang-tulang" ini membebani TPA. Membuang sampah ke TPA tidak gratis. Ada biayanya.
Pengeluaran membuang "tulang" sampah ke TPA lebih besar daripada hasil jual "daging" sampah. Belum lagi kalau TPA membatasi pembuangan sampah.
Ini jelas jalan kesasar pengelolaan sampah. Menghadapi masalah sampah mestinya memakai pedoman pasal 15 UUPS: Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
"Tulang" sampah dipastikan berasal dari produsen. Terutama sampah anorganik, masyarakat hanya akan menimbulkan sampah itu setelah mengkonsumsi produk yang sisanya jadi sampah. Di sini lah produsen produk harus bertanggungjawab.
Pasal 13 dan Pasal 15 UUPS akan mengatasi "daging dan tulang" sampah itu. Soal nanti akan didaur ulang secara teknis atau biologis, itu urusan selanjutnya.
Penyebab Kesasar Ketiga: Pasal 21 UUPS
Bunyi Pasal 21 UUPS:
(1) Pemerintah memberikan:
a. insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah; dan
b. disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah.