Mestinya-masih menurut Asrul, dana yang dibayarkan masyarakat itu kembali ke masyarakat. Yaitu, untuk diberikan sebagai insentif pada masyarakat yang mengelola sampah 'terutama kantong plastik.Â
Terkait "penumpang gelap", Asrul mengasosiasikan pelarangan kantong plastik dengan persaingan bisnis para pengusaha. Asrul mengaku mengetahui adanya upaya perebutan segmen pasar.
Pasar kantong plastik yang segmennya menengah ke bawah hendak dimasuki pengusaha yang selama ini bermain di segmen menengah ke atas. Kantong plastik yang harganya murah selalu menjadi pilihan rakyat Indonesia daripada kantong lainnya yang harganya lebih mahal.
Maka, isu pengurangan dan pelarangan kantong plastik adalah jalur yang paling aman agar masyarakat mengubah pola konsumsi. Sebab, bisa dilakukan dengan upaya paksa melalui peraturan pemerintah.
Maka jangan heran, ketika terbit peraturan pelarangan plastik, pasti selalu ada pihak yang segera menyediakan kantong pengganti yang lebih mahal dengan klaim ramah lingkungan. Pertokoan atau ritel 'dipaksa' menjual dan masyarakat 'dipaksa' membeli menggunakan aturan yang berkonsekwensi sanksi.
Menyuruh Pedagang Melanggar KUH Perdata
Satu hal lagi soal pelarangan kantong plastik disampaikan Asrul. Menurut dia, pelarangan kantong plastik justru bisa berakibat hukum pada pengusaha toko atau ritel.
Pasal tersebut, lanjutnya, mensyaratkan objek perikatan jual-beli haruslah berupa kausa (sebab, isi) yang halal. Kantong (plastik) tidak dapat dipungkiri merupakan suatu benda yang muncul dalam setiap transaksi jual-beli ritel dari pihak pengusaha ritel selaku si penjual.
"Selama ini begitulah praktek jual-beli barang ritel, guna menyempurnakan serah terima barang yang dibeli darinya maka seluruh barang belanjaan dibungkus dengan kantong plastik. Setelah dibungkus, sempurnalah jual-beli secara ritel tersebut sebagaimana diamanatkan oleh KUH Perdata agar selanjutnya dapat dinikmati oleh si pembeli," terangnya.
Melihat lebih dalam soal kebijakan pemerintah terkait plastik memang akan menghasilkan pemahaman yang luas. Sebab, tidak ada kebijakan yang bergerak di ruang kosong tanpa kepentingan apapun.
Maka soal pengelolaan lingkungan terutama sampah, kita tidak boleh terus menerus awam dan lugu. Kita harus mulai lebih rajin mengkaji persoalan sampah secara komperhensif. (nra)