Bahwa kemudian Anies menerbitkan Pergub No. 142 Tahun 2019, Asrul menilai Anies sebagai Gubernur yang tidak punya pertimbangan regulasi, ekonomi dan ekologi. "Jangan mengatakan dan sedikit-sedikit bilang ramah lingkungan. Karena mereka tahunya ramah lingkungan itu tidak jadi sampah saja," tegasnya.
Membuktikan Ketidakmampuan Pengelolaan SampahÂ
Dengan bertambahnya DKI Jakarta, kini total sudah ada 26 kabupaten/kota dan 3 provinsi yang mengeluarkan peraturan "pelarangan kantong plastik". Makin banyaknya kepala daerah mengeluarkan peraturan yang sama, maka makin terbukti banyak kepala daerah tak mampu mengelola urusan persampahan.
Alih-alih mengantisipasi hulu persoalan kantong plastik, mereka sebenarnya tidak akan dampak kebijakan tersebut. Di sisi ekonomi kebijakan itu akan berdampak pada masyarakat yang hidup dari produksi, distribusi dan daur ulang.
Di sisi sosial, semakin banyak orang kehilangan sumber daya ekonomi, maka semakin miskin. Kemerataan sosial semakin jauh dari cita-cita negara.
Di samping itu, menyalahi Undang Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Di mana semangat pengelolaan sampah dalam UUPS sesungguhnya lebih mengarah pada sirkulasi ekonomi khas Indonesia.
Persaingan Bisnis Berlabel Ramah Lingkungan
Label 'ramah lingkungan' saat ini tengah menjadi tren bisnis. Potensi pasarnya sekitar 130 juta jiwa orang yang sudah memiliki kesadaran lingkungan.Â
Namun, kesadaran cinta lingkungan yang belum komperhensif. Yaitu, kesadaran yang masih naif. Hanya terpaku pada hilir saja.Â
Klaim ramah lingkungan hanya sekadar tidak menambah sampah di TPA atau tempat sampah ilegal lainnya. Padahal ramah lingkungan tidak sesederhana itu.
Produk ramah lingkungan harus memenuhi syarat di hulu hingga hilir. Khusus plastik, sebenarnya ramah lingkungan juga. Karena di hulu memerlukan biaya yang murah, sedikit energi, sedikit listrik dan harganya terjangkau di pasar.