Diam yang Berbicara
Diam sering disalahartikan sebagai ketidakpedulian. Namun, bagi seorang anak tengah, diam adalah cara bertahan. Tumbuh di antara dua peran si sulung yang dibebani tanggung jawab dan si bungsu yang perlu dimengerti mereka menjadi sosok yang tak kasat mata, suaranya tenggelam di antara hiruk pikuk keluarga.
Seorang anak tengah pernah berkata,
"Aku tak pernah benar-benar merasa ada."
Kata-kata itu, meski sederhana, menusuk hati. Itu adalah jeritan sunyi yang sering terlewat, sebuah permohonan kecil agar dunia berhenti sejenak dan mendengarnya. Mereka tidak berbicara banyak, bukan karena tidak memiliki cerita, tetapi karena sudah terbiasa tak didengar.
Ketika ia akhirnya mencoba menyuarakan isi hatinya, respon yang ia dapatkan sering kali hanya anggukan kosong, kalimat yang dipotong, atau perhatian yang teralihkan. Pelan-pelan, ia belajar bahwa mungkin dunia lebih tenang tanpa suaranya. Jadi, ia memilih untuk menyimpan segalanya dalam hati, sakit, kecewa, bahkan harapan yang sederhana.
Kekuatan di Balik Luka
Meski begitu, diam mereka bukanlah kelemahan. Di baliknya tersembunyi kekuatan luar biasa. Anak tengah sering menjadi penyeimbang, mediator dalam konflik keluarga, dan bahkan tulang punggung di saat krisis. Mereka tumbuh dengan kepekaan tinggi, belajar mengerti tanpa perlu diberi tahu. Tetapi, menjadi tangguh tidak berarti tanpa luka.
Ada saat-saat di mana ia ingin menangis, namun tak tahu kepada siapa. Ingin berbagi cerita, tapi takut hanya dianggap beban. Ia memeluk kesepiannya seperti teman lama, karena dalam diam, setidaknya ia tidak perlu merasa ditolak. Dalam sunyi, ia menemukan tempat di mana ia bisa merasakan keberadaan dirinya meski sepi itu sering terasa menusuk.
Karena di balik anak tengah yang terlihat kuat, ada hati yang pernah retak karena tak pernah didengar. Ada jiwa yang bertahan dalam keheningan karena dunia terlalu bising untuk memperhatikan. Dan yang mereka rindukan bukan sekadar tempat untuk berbicara, tetapi seseorang yang benar-benar ingin mendengar tanpa terburu-buru, tanpa menghakimi, hanya mendengar dengan sepenuh hati. Namun, yang jarang diketahui orang adalah bahwa keheningan itu bukan tanda ketidakpedulian melainkan mekanisme bertahan.
Menurut Dr. Catherine Salmon, anak tengah sering merasa diabaikan, memengaruhi rasa percaya dirinya. Meski demikian, pengalaman ini juga membuat mereka lebih mandiri dan mampu menghadapi tekanan. Mereka belajar bertahan, namun tidak pernah berhenti merindukan hal-hal sederhana: dipahami, dihargai, dan diakui.
Satu Pertanyaan yang Bermakna
Bayangkan seseorang yang selalu berada di tengah, memberi tempat untuk semua, namun jarang memiliki ruang untuk dirinya sendiri. Betapa satu perhatian kecil, seperti sebuah pertanyaan sederhana—“Apa yang kamu rasakan?”—bisa membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.
Sebuah Ajakan untuk Mendengar
Sebagai keluarga, mari berhenti sejenak. Dengarkan mereka, bukan hanya kata-katanya, tetapi juga hatinya. Anak tengah yang tampak kuat sebenarnya menyimpan keinginan yang sederhana—untuk merasa terlihat dan berarti. Diam mereka bukan tanda mereka menyerah, tetapi cara mereka bertahan dalam dunia yang sering melupakannya. Mereka tidak meminta banyak, hanya sedikit ruang, sedikit perhatian. Apakah kita berani menghentikan langkah dan mendengar suara mereka sebelum diam menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H