Diam yang BerbicaraÂ
Diam sering disalahartikan sebagai ketidakpedulian. Namun, bagi seorang anak tengah, diam adalah cara bertahan. Tumbuh di antara dua peran si sulung yang dibebani tanggung jawab dan si bungsu yang perlu dimengerti mereka menjadi sosok yang tak kasat mata, suaranya tenggelam di antara hiruk pikuk keluarga.
Seorang anak tengah pernah berkata,
 "Aku tak pernah benar-benar merasa ada."Â
Kata-kata itu, meski sederhana, menusuk hati. Itu adalah jeritan sunyi yang sering terlewat, sebuah permohonan kecil agar dunia berhenti sejenak dan mendengarnya. Mereka tidak berbicara banyak, bukan karena tidak memiliki cerita, tetapi karena sudah terbiasa tak didengar.
Ketika ia akhirnya mencoba menyuarakan isi hatinya, respon yang ia dapatkan sering kali hanya anggukan kosong, kalimat yang dipotong, atau perhatian yang teralihkan. Pelan-pelan, ia belajar bahwa mungkin dunia lebih tenang tanpa suaranya. Jadi, ia memilih untuk menyimpan segalanya dalam hati, sakit, kecewa, bahkan harapan yang sederhana.
Kekuatan di Balik Luka
Meski begitu, diam mereka bukanlah kelemahan. Di baliknya tersembunyi kekuatan luar biasa. Anak tengah sering menjadi penyeimbang, mediator dalam konflik keluarga, dan bahkan tulang punggung di saat krisis. Mereka tumbuh dengan kepekaan tinggi, belajar mengerti tanpa perlu diberi tahu. Tetapi, menjadi tangguh tidak berarti tanpa luka.
Ada saat-saat di mana ia ingin menangis, namun tak tahu kepada siapa. Ingin berbagi cerita, tapi takut hanya dianggap beban. Ia memeluk kesepiannya seperti teman lama, karena dalam diam, setidaknya ia tidak perlu merasa ditolak. Dalam sunyi, ia menemukan tempat di mana ia bisa merasakan keberadaan dirinya meski sepi itu sering terasa menusuk.Â