...
Demikianlah yang diucapkan Samsu. Ia berjanji akan berjuang mendapatkan Nurbaya kembali, karena kekasihnya itu sangat menderita bersama Datuk Meringgih. Naluri lelakinya terpanggil untuk melindungi perempuan yang bukan sekadar sahabat dan kekasih melainkan sudah seperti saudaranya pula.Â
Ketika Samsulbahri pulang ke kotanya, ia pun bertemu dengan Sitti Nurbaya yang saat itu tengah menengok ayahnya yang sedang sakit. Keduanya pun berbincang lama,bergurau, berpantun, yang akhirnya berciuman mesra. Kemesraan keduanya disaksikan oleh Datuk Meringgih yang diam-diam memperhatikan ulah keduanya.
Amarah Datuk Maringgih ketika mendapatinya sedang berduaan dengan Samsulbahri
"Apa katamu? Aku membunuh ayahku? Celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada tahu perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku. Engkaulah yang menjatuhkan dia...toko ayahku terbakar, perahunya tenggelam,kelapanya mati... Ceraikan aku sekarang juga. Jika tiada, bukanlah laki-laki." (Rusli, 1922:185)
      Sitti Nurbaya setelah merasa mendapatkan perlakuan Samsulbahri yang melindunginya, mulai berani menantang arogansi Datuk Meringgih terhadap dirinya.
"Jangan Engkau lupa, ayahmu berutang kepadaku. Oleh sebab itu, rumah ini akulah yang punya... Akulah yang akan mengusir engkau,"jawab Datuk Meringgih yang pucat mukanya menahan marahnya.
"Apa katamu? Rumah dan sekalian barang ini, bukan harta ayahku melainkan milikku sendiri. Karena tertulis atas namaku... Kalau benar engkau laki-laki dan bekuasa atas rumah ini, cobalah kaukeluarkan aku dari sini!" lalu Nurbaya mengambil palang pintu... (Rusli, 1922:185)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H