Manakala Hartono yang merasa tersudut karena dipersalahkan pernah melakukan ghosting serta sarannya agar Tini mencintai Tono pun dibantah, ia pun mengajak Tini untuk kembali kepadanya karena ia telah memiliki pekerjaan.
Akan tetapi, Tini yang merasa sakit hati lagi-lagi menolak. Hartono hendak berkata, tapi ditahan Tini, kata Tini dengan cepat...tidak perlu aku dihiburkan, aku sendiri dapat menemukan jalan...
"Sekarang namamu dulu boleh kaupakai lagi,"kata Tini mengejek.(Pane,1937: 121-123)
Ungkapan sinis dan sakit hati  seolah ingin menggoreskan kesan  bahwa cintanya pada Hartono saat itu bukan sekadar karena kecerahan masa depan. Mengapa Tono tidak memercayainya malah melakukan ghosting toh Tini menerimanya apa adanya? Buktinya ia tidak bisa segera mencintai Sukartono kendati dokter tersebut melimpahinya dengan kemewahan?
"Engkau cinta padanya."
Tini tersenyum meringis,"Cinta? Aku cinta? Hatiku cinta? Semua perasaan sudah mati dalam hatiku, hatiku sudah seolah-olah kuburan. (Pane, 1937:120)
Ungkapan yang seolah semakin menyudutkan Hartono karena melakukan ghosting kendati hal itu dilakukannya saat ia merasa tidak memiliki masa depan. Ulah  yang tidak dapat diterima Tini setelah ia menyerahkan dirinya, kendati melawan tradisi zaman itu. Ulah yang tidak dapat dimakluminya. Ulah yang masih menyisakan sakit hati karena ia sangat mencintai Hartono saat itu. Cinta yang sepenuh cinta, yang tak akan dapat tumbuh kendati ia dinikahi dokter, walaupun pria tersebut sanggup memberikan kebanggaan dan kelimpahan materi pula.
Konflik batin yang menjadikannya trauma akibat merasa dighosting Hartono diungkapkan kepada Rohayah yang mengetahui masa lalunya.
"Bukan dia yang tak dapat engkau lupakan, tapi...perbuatan Kamu."
  ..."Barangkali benar katamu itu.  Kami kawin, lambat laun aku mencintainya, berangsur-angsur dalam, aku tiada dapat menahannya. Aku tiada suka ia pergi-pergi, hendakku banyak-banyaklah ia didekatku, tapi ia tak tahu, ia tak dapat, karena ia mesti pergi, memang sudah pekerjaannya begitu. Aduh, tidak tertahankan rasa cemburu dalam hatiku. Entah siapa-siapa diterimanya untuk diperiksa, entah siapa yang dikunjunginya, diraba-rabanya. Barangkali perempuan cantik lagi muda dan tidak berpakaian pula... ((Pane, 1937:140)       Dari sini terlihat jika Tini yang cantik; yang suka berdandan dan tampil dengan segala kemewahan itu, manakala suaminya menganggap dirinya tidak dihargai isteri, bukan semata pengaruh emansipasi. Sebagai wanita Timur yang masih lekat dengan tradisi patriarki tentu ia tidak kesulitan menjalani tradisi yang juga dilakukan sekitarnya.    Â
   Keberatannya selain arus emansipasi yang melandanya, ia ternyata memendam trauma. Trauma akibat menjalani perilaku yang belum berterima bagi tradisi sekitarnya, yaitu melakukan seks pranikah kemudian dighosting pula oleh kekasih yang tengah tidak memiliki pekerjaan. Sakit hati serta kecemasan dicurigai tidak dapat menerima kondisi kekasih yang belum mapan, semakin menghalanginya untuk larut mencintai dokter Sukartono.