Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

LDR Kutu Buku yang Pilu dan Lucu

14 Februari 2021   10:12 Diperbarui: 14 Februari 2021   10:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

      Jika harus membahas tentang LDR, ingatan tentu melayang pada masa remaja. Masa-masa awal kuliah tatkala orangtua sudah memberi lampu hijau untuk mempunyai pacar. Pacar yang bagaimanakah? Di antara beberapa kumbang yang berseliweran, mendadak muncul sesosok kumbang yang anak panahnya mengena di hati,"Ayo, jalan-jalan ke toko buku." Waow, syukurlah yang menawari berjalan-jalan ke toko buku hanya satu. Coba jika semuanya, betapa bingungnya. Maka, okelah, kendati harus naik bus kota. Hehehe...

Ingatan pun melayang pada nasihat orangtua tatkala melepas anak-anak gadisnya untuk kos dan menapaki masa remaja, "Perempuan itu ibarat porselen yang tidak boleh retak sebelum saatnya tiba," itu nasihat ibu. Yang disampaikan bapak lain lagi,"Mendapat amanat dititipi anak perempuan itu ibarat 'Satru mungging cangklakan' dari bahasa Jawa yang maksudnya musuh itu sangat dekat di ketiak, merupakan bagian dari diri sendiri alias darah daging sendiri. Ketika musuh tersebut tersandung masalah, diri sendiri itu pun merasakan sakitnya." Saran tersirat keduanya jatuhnya sama saja, yaitu jaga diri baik-baik sebagai anak terlebih anak perempuan dalam tradisi Timur pula.

Kembali ke ajakan berjalan-jalan ke toko buku dan rasa syukur yang menawari tersebut pun hanya satu. Andaikan yang menawari beberapa orang tentu akan merasa tidak nyaman karena teringat pesan orang tua, saat mengantar ke tempat kos,"Jangan mendua hati, kalau pacaran dengan satu orang saja. Justru anak cantik (duile...mana ada orangtua mengatai anaknya jelek) tidak usah mencari kebanggaan dengan cara berganti-ganti pacar atau banyak pacar. Percuma. Itu bukan prestasi. Itu hal yang wajar. Sopo sing ora iso?" Hehehe...

Semula, tentu tidak langsung mengajak berjalan-jalan karena belum tentu mau. Semula bertamu ke tempat kos seperti yang lain-lain. Tatkala ajakan ke toko buku tersebut bersambut, ia pun menyatakan cinta kemudian keesokan harinya pamit akan menjalani pekerjaan ke luar provinsi. Begitu ia pergi, LDR nih.

Merasa kesepiankah? Tentu tidak. Waktu 24 jam digunakan untuk kuliah sekian jam, tidur dan lain-lain sekian jam, sisanya untuk membaca buku itu pun serasa masih kurang, sehingga sedikit pun tidak terlintas merasa kesepian. Sesekali hanya  mendengar gurauan,"Kok memilih yang mengajak naik angkot, aku yang membawa motor dicuekin? Karena diajak ke toko buku ya?"

Justru saat merasa berjauhan, yang terasakan adalah menjadi produktif. Kerinduan yang melintas, akhirnya tertuang ke dalam puisi, cerpen, dan gambar. Ada teman yang berkomentar,"Enak juga punya pacar seperti Kamu ya. LDR atau tidak, tak berdampak. Selalu asyik dengan buku. Jika kangen pacarnya malah dibuatkan puisi, cerpen, bahkan dilukis."  Ada juga komentar lain,"Kemarin itu yang mengajak ke toko buku, ia suka baca nggak? Jangan-jangan sebetulnya nggak suka baca, tapi maksa, demi menarik perhatianmu. Kalau aku sih jujur saja. mending Kamu minta belikan buku segerobag asalkan jangan suruh aku suka buku seperti Kamu." Hehehe.

Lalu, bagaimana nasib LDR? Mungkin sama dengan pendapat teman tersebut di atas, bahwa ia memaksa diri padahal tidak suka buku, atau memang tidak tahan LDR karena sering bertemu dengan teman sejawat? 

Akhirnya, ia pun menikah dengan teman kerjanya. Hal yang masih menyisakan tanda tanya, jangan-jangan LDR yang tidak berdampak bagiku, karena bisa menuangkan kerinduan dengan cara lain, membuatnya merasa diabaikan? Karena sekilas ,kendati memendam rindu, aku keasyikan dengan duniaku yang tak bisa jauh dari buku, sehingga seseorang tersebut merasa tidak kubutuhkan?

Marahkah saya? Kalau marah sih, tidak! Toh ia berhak berbahagia dengan caranya sendiri. Yang saat itu saya rasakan adalah merasa kebingungan mempertanyakan nasihat orang tua tentang anjuran harus setia. Sebaiknya memiliki pacar lebih dari satu, terlebih saat LDR, agar saat ditinggal memilih orang lain, saya tidak terpukul?

Lagi-lagi ide tersebut ditentang orangtua. Mungkin sambil mengutip pendapat orang lain, bapak mengatakan,"Saya tidak melarang Kamu memiliki kekayaan, kecantikan, dan kepandaian. Tapi jika tidak dapat menjaga reputasi, sama saja Kamu tidak memiliki apa-apa." Kemudian dilanjutkan dengan saran ibu yang mengutip pendapat bapak, bahwa kesetiaan adalah tanggung jawab kepada komitmen yang memuat kebahagiaan.  Dengan mencoba untuk setia, kita dapat merasakan,'endahing katresnan', keindahan cinta. Duileee.

Saran yang membuat saya harus menuruti karena bapak memberikan contoh dengan cara setia kepada ibu demikian pula sebaliknya. Ibu pun menambahkan,"Tidak perlu memiliki pacar cadangan saat LDR, mereka kan bukan barang. Jika sakit hati malah bahaya. Bagaimana jika malah main guna-guna? Kamu harus lebih sabar, lebih mengerti lelaki, lebih perhatian, jangan tenggelam dengan kesibukanmu sendiri."

Pengalaman pilu LDR berikutnya, kendati bukan harus pengalaman pribadi, tatkala ada pejuang LDR yang akhirnya menganggap antara "cinta" dan "puas" harus dibedakan. Perbedaan tersebut mengakibatkan keputusan iseng. Tatkala kerinduan kepada kekasih yang jauh seakan sudah berada di ujung-ujung rambut, melampiaskan kepada seseorang yang memberikan kepuasan di kala kesepian, bukanlah hal yang salah. Hehehe.

Yang terjadi akhirnya adalah, terkesan selingkuh diam-diam di belakang pacar yang sesungguhnya, demi melepaskan perasaan sepi yang memagut mencengkeram hati nurani.  Bahwa ulah tersebut akan menimbulkan sakit hati minimal kekasihnya karena merasa diselingkuhi, kemudian partner selingkuh jika ia telanjur berharap lebih. Apakah hal itu sudah dipertimbangkan oleh para pelaku LDR?

Akhirnya, sesuai dengan uraian di atas, dengan waktu yang hanya 24 jam, itu pun masih harus dibagi-bagi sekian untuk pekerjaan, sekian untuk kebutuhan sehari-hari, menyisakan waktu yang masih ada untuk menuruti hobi merupakan solusi yang menyenangkan dalam menghadapi LDR.  Kesibukan menuruti hobi akan terasakan sebagai hal yang tak akan ada habisnya, bahkan tidak terasakan jika tengah mengalami LDR, bukan?

Selain itu, komitmen untuk setia memang diperlukan sebagai penguat kedisiplinan. Janganlah karena keasyikan menuruti hobi lalu mengabaikan alarm yang menunjukkan harus saatnya menelepon kekasih yang sedang jauh, bahkan mengabaikan membuka gawai barangkali ada pesan penting darinya.

Bagaimanapun, menuruti hobi memang sanggup melupakan kepedihan dan kesepian akibat LDR, bahkan adakalanya sanggup membuat lupa waktu dan lupa usia. Hehehe. Itu LDR bagi kutubuku. Bagaimana LDR bagi pemilik hobi lainnya? Ditunggu komentarnya, barangkali nanti akan dibukukan oleh Kompasiana? Hehehe. Ngarep.com.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun