Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Ibu Tiri

10 Januari 2021   12:57 Diperbarui: 10 Januari 2021   13:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja temaram. Bulan bersinar muram. Semuram hatiku di antara kesuraman lampu teras depan yang sudah hampir dua bulan tidak lagi berpenghuni sejak kematian ayahku. Aku masih tidak segera beranjak kendati nyamuk-nyamuk dengan dengungan khas membisingkan telingaku yang tengah merenung.

Merenung atau melamun? Aku merasa sedang merenung dalam hal ini sedang melakukan kontemplasi akan perlakuan kami kepada ibu tiri yang selama ini merawat ayah. Sudah layakkah kami bersikap seperti itu? Jika tulisan berbeda, tentu makna pun berbeda karena melamun dapat diartikan bengong kendati fokus ke satu masalah tapi tak jelas apa yang dipikirkannya. Selain mengenang sepotong demi sepotong kenangan yang menyentuh perasaan tanpa mencari solusi untuk mengatasi.

Aku memang tidak tinggal di desa masa kecilku begitu mendapatkan pekerjaan di luar kota berlanjut menikah. Begitu pula saat ibuku meninggal dunia, aku hanya sesekali pulang menengok ayah. Kebiasaan yang berlanjut  sampai ayah yang sudah pensiun itu menikahi janda. Usinya lebih muda daripada ayah walaupun beliau tidak lagi berusia muda.

Ayah  bertetangga dengan kakak perempuanku. Aku yang merasa tenang karena beliau di hari tuanya ditemani kakak, hanya mengirimi uang semampuku, kadang sebulan sekali kadang juga beberapa bulan baru mengirimi uang sekaligus datang menengok. Bagaimanapun, aku sudah berkeluarga yang juga harus membagi waktu untuk pekerjaan dan keluargaku. Ayah pun tidak keberatan. Sepeninggal ibu beliau memang hidup sendirian di rumah yang bersebelahan dengan kakak perempuanku itu.

Lama kelamaan sebagai sesama lelaki, aku menggoda ayah bagaimana jika ayah menikah lagi? Ayah kan juga membutuhkan teman hidup yang bisa diajak bercengkarama di senja hari di depan televisi atau di teras seperti yang kulakukan sore ini. Ayah yang kesehatannya sudah sangat menurun, sebagian mungkin kurang berolahraga selain pola makan yang tidak teratur sepeninggal ibu, tentu membutuhkan tangan cekatan wanita yang tulus karena saling membutuhkan teman hidup di hari tua.

Aku pun share ke grup teman-teman barangkali ada janda sebaya ayahku yang berkenan menemani beliau hidup. Tak kusangka, beberapa teman menawari mengenalkan dengan saudaranya, temannya, ibunya, tantenya. Dari sekian yang dikenalkan, ada seseorang yang juga bernasib sama dengan ayah. Suaminya meninggal. Ia bertetangga dengan anak perempuannya yang sudah menikah. Maka, setelah kami kenalkan dengan ayah sepulangku menemani beliau mengambil uang pensiun, aku sengaja cuti untuk itu, ibu tersebut yang merupakan tetangga temanku di grup, mau menikah dengan ayah lengkap dengan syaratnya yaitu harus tinggal di rumah ayahku untuk menemaninya.

Kakak perempuanku di luar dugaanku, marah. Ia mengatakan bahwa uang pensiun ayah masih sekitar empat jutaan. Ia tidak rela uang itu dikelola ibu tiri. Ayah sudah pernah menikah. Untuk apa menikah lagi yang berarti tidak setia kepada almarhumah ibu. Toh kakakku masih sanggup memasakkan makanan untuk ayah. Jika ayah cape ia bisa mencarikan tukang pijat. Demikian pula jika ayah sakit, ia pun sanggup mengantarkan ke dokter. Yang pasti, ia tidak setuju.

Aku terkejut sesaat sambil mencoba memaklumi bahwa untuk urusan kuat menyendiri, secara fakta kaum ibu memang banyak yang lebih betah menyendiri sepeninggal suami daripada kaum lelaki. Akan tetapi, ayahku lelaki dan kebetulan mengatakan bersedia menikah lagi saat kukenalkan dengan tetangga temanku di grup whatsappku. Maka, protes kakak perempuanku pun tidak kutanggapi. Aku hanyalah memberikan pengertian bahwa ayah adalah lelaki.

Setelah pernikahan itu, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Sesekali mengirimi uang dengan cara mentransfer, sesekali menengok ayah. Bahkan setelah ayah menikah lagi, setelah kebutuhan hidupku semakin banyak karena anak-anak semakin besar, semakin butuh lebih banyak biaya, perumahan pun mulai aus di sana sini membutuhkan renovasi, aku pun tidak lagi kepikiran tentang ayah. Urusan pekerjaan dan rumah tanggaku pun menyita waktu dan pikiranku.

Tiba-tiba saja, pada tahun kelima pernikahan ayah, saat itu ayah sudah berusia 70 tahun, aku menerima kabar dari kakak perempuanku bahwa ayah sakit. Aku pun bergegas pulang. Itu pun terlambat. Ayah sudah hampir dimakamkan, sehingga aku hanya sempat mengantar ke pemakaman.

Pada bulan kedua kematian ayah, aku datang ke rumah. Selain itu, kakak perempuanku memintaku untuk pulang, ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Aku bertemu dengan bi Ranti, tetangga kami. Sambil membawa pisau untuk memotong daun pisang di halaman rumahnya untuk pembungkus pepes bandeng, bi Ranti bercerita yang membuatku terkejut.

Beliau mengatakan bahwa kakak perempuanku telah bersikap semena-mena kepada ibu tiriku. Selain mengontrol sisa uang pensiun ayah setelah terpakai untuk biaya hidup, sisa uang pensiun itu pun dimintanya untuk disimpan di buku tabungan atas nama almarhumah ibu yang masih disimpannya.

"Ibu tirimu pulang, tepatnya disuruh pulang tanpa membawa apa pun. Sepotong baju ayahmu, mungkin ia sempat mencintai suaminya dalam kebersamaan di hari tua mereka, yang dibawanya pun diambil kembali oleh kakakmu. Ketika ia mengambil seperangkat alat makan mereka berdua yang digunakan sehari-hari pun dilarang. Benar-benar ia pulang hanya membawa tubuhnya. Duh...mengapa dulu Kaunikahkan dengan ayahmu," ujarnya setengah melabrakku,

"Coba dulu anggap saja ia bekerja sebagai pembantu ayahmu, tentu selain diberi makan, juga pulang masih membawa gaji. Gaji sebagai perawat ayahmu, gaji sebagai tukang loundry, gaji tukang masak, gaji tukang pijat, sisanya untuk makan. Seharusnya uang pensiun ayahmu diberikan kepadanya, bukan dirampas kakakmu, toh yang dikerjakan juga semua yang kusebutkan di atas. Apa bedanya dengan pembantu?"

Aku terkejut. Sebegitu tegakah kakakku? Bahwa ia melarang ayah menikah lagi memang benar. Akan tetapi, begitu ayah menikah, ia malah mengontrol keuangan ayah, membelanjakan semua kebutuhan makan mereka berdua, lalu menabung sisa uang pensiun ayah untuk dimasukkan ke rekening ibu?  Itu yang aku tak tahu.

"Coba bayangkan, ia pulang ke rumahnya lagi setelah lima tahun menjadi isteri ayahmu, tanpa membawa apapun, hanya cincin kawin yang dulu Kaubelikan. Selebihnya, ia tidak membawa apa-apa. Kubayangkan mending jadi pembantu deh, dengan kesibukan yang sama, bahkan lebih lelah menjadi isteri, pulang masih membawa gaji," sembur bi Ranti.

"Sedemikian mahalkah status sebagai isteri dalam tradisi patriarki? Anehnya, pelaku ketimpangan itu malah sesama wanita? Kakak perempuanmu itu," gerutunya lagi sambil melipat daun pisang yang telah dipisahkan dari pelepahnya. Pelepah tersebut dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah.

"Mengapa kakak memintaku pulang, Bi?" tanyaku.

"Ia nggak bisa mengambil uang di bank atas nama almarhumah ibumu tanpa ahli warisnya berkumpul. Selain itu, mungkin ia ingin menjual rumah ayahmu setelah menyuruh ibu tirinya pulang," jawabnya sambil berlalu setelah keperluannya mengambil daun pisang sudah terselesaikan.

Tiba-tiba aku gentar. Semoga isteriku kelak tidak seperti kakakku. Setelah mendengar cerita bi Ranti, aku menelepon isteriku, kukatakan semuanya, bahkan kukatakan bahwa aku ingin memberikan bagianku kepada ibu tiriku. Ia tidak membantah. Semoga yang dikatakan ditelepon sama dengan yang dilakukannya kelak. Jangan-jangan, begitu melihat aku menerima uang, ia pun berubah pikiran?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun