Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Ibu Tiri

10 Januari 2021   12:57 Diperbarui: 10 Januari 2021   13:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beliau mengatakan bahwa kakak perempuanku telah bersikap semena-mena kepada ibu tiriku. Selain mengontrol sisa uang pensiun ayah setelah terpakai untuk biaya hidup, sisa uang pensiun itu pun dimintanya untuk disimpan di buku tabungan atas nama almarhumah ibu yang masih disimpannya.

"Ibu tirimu pulang, tepatnya disuruh pulang tanpa membawa apa pun. Sepotong baju ayahmu, mungkin ia sempat mencintai suaminya dalam kebersamaan di hari tua mereka, yang dibawanya pun diambil kembali oleh kakakmu. Ketika ia mengambil seperangkat alat makan mereka berdua yang digunakan sehari-hari pun dilarang. Benar-benar ia pulang hanya membawa tubuhnya. Duh...mengapa dulu Kaunikahkan dengan ayahmu," ujarnya setengah melabrakku,

"Coba dulu anggap saja ia bekerja sebagai pembantu ayahmu, tentu selain diberi makan, juga pulang masih membawa gaji. Gaji sebagai perawat ayahmu, gaji sebagai tukang loundry, gaji tukang masak, gaji tukang pijat, sisanya untuk makan. Seharusnya uang pensiun ayahmu diberikan kepadanya, bukan dirampas kakakmu, toh yang dikerjakan juga semua yang kusebutkan di atas. Apa bedanya dengan pembantu?"

Aku terkejut. Sebegitu tegakah kakakku? Bahwa ia melarang ayah menikah lagi memang benar. Akan tetapi, begitu ayah menikah, ia malah mengontrol keuangan ayah, membelanjakan semua kebutuhan makan mereka berdua, lalu menabung sisa uang pensiun ayah untuk dimasukkan ke rekening ibu?  Itu yang aku tak tahu.

"Coba bayangkan, ia pulang ke rumahnya lagi setelah lima tahun menjadi isteri ayahmu, tanpa membawa apapun, hanya cincin kawin yang dulu Kaubelikan. Selebihnya, ia tidak membawa apa-apa. Kubayangkan mending jadi pembantu deh, dengan kesibukan yang sama, bahkan lebih lelah menjadi isteri, pulang masih membawa gaji," sembur bi Ranti.

"Sedemikian mahalkah status sebagai isteri dalam tradisi patriarki? Anehnya, pelaku ketimpangan itu malah sesama wanita? Kakak perempuanmu itu," gerutunya lagi sambil melipat daun pisang yang telah dipisahkan dari pelepahnya. Pelepah tersebut dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah.

"Mengapa kakak memintaku pulang, Bi?" tanyaku.

"Ia nggak bisa mengambil uang di bank atas nama almarhumah ibumu tanpa ahli warisnya berkumpul. Selain itu, mungkin ia ingin menjual rumah ayahmu setelah menyuruh ibu tirinya pulang," jawabnya sambil berlalu setelah keperluannya mengambil daun pisang sudah terselesaikan.

Tiba-tiba aku gentar. Semoga isteriku kelak tidak seperti kakakku. Setelah mendengar cerita bi Ranti, aku menelepon isteriku, kukatakan semuanya, bahkan kukatakan bahwa aku ingin memberikan bagianku kepada ibu tiriku. Ia tidak membantah. Semoga yang dikatakan ditelepon sama dengan yang dilakukannya kelak. Jangan-jangan, begitu melihat aku menerima uang, ia pun berubah pikiran?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun