Aku memintanya selalu berbusana warna duka agar kulitnya tampak putih. Ia menurut. Maka, busana yang digunakan ke kampus pun selalu warna hitam dan biru tua. Warna yang malah membuat wajahnya semakin bersinar. Itulah yang kuinginkan agar aku bisa melupakan sosok Adisty Ratna Wirastuti yang menyukai aneka warna.
        "Namaku Mutmainah,"ujarnya malu-malu menerima uluran perkenalanku.
Aku tertegun dan entah mengapa, aku merasa jatuh cinta. Mungkinkah karena nama kami sama? Sama-sama diambil dari kitab suciku? Entahlah. Yang pasti, niatku semula hanya iseng saja, sudah tidak ada lagi. Mutmainah. Mutmainah, artinya jiwa yang tenang.Â
Duh...cantiknya. Sangat serasi bersanding dengan namaku kelak. Nama belakangku Firdaus. Kelak, namanya dan namaku akan kusatukan menjadi Mutmainah Firdaus.
Oh indahnya. Perpaduan nama indah yang mungkin tak ada duanya di dunia. Duh, betapa inginku perpaduan nama itu segera terlaksana menghiasi undangan pernikahan kami segera setelah aku lulus kuliah dan bekerja.
Jika ditanya apakah aku mencintainya? Pasti spontan kujawab aku selalu cinta dan akan selalu mencintainya selama-lamanya. Dugaanku pun meleset. Mungkin benar kata para psikolog bahwa karakter anak-anak meniru ayahnya.Â
Jika ayahnya setia, bagaimana mungkin aku bisa tidak setia? Walaupun aku telah mencoba untuk itu. Bahkan, semula ia yang akan kujadikan ajang pelampiasan patah hatiku, tidak terbukti.
Aku ternyata sangat mencintainya, sangat takut kehilangan dirinya, sampai-sampai membalas ataupun mengomentari teman-teman di media sosial pun aku tidak berani karena semua password media sosialku sudah dikuasainya.
Maka, di media sosial namaku hanya terdaftar bak boneka karena tidak pernah mempunyai nyali untuk bertegur sapa dengan teman perempuan apalagi berkomentar. Teman-teman menuduhku bucin. Tapi apalah arti tuduhan budak cinta? Toh, aku memang mencintainya. Maka, aku rela membucin kepadanya. Habis perkara.
Hingga suatu ketika, ada konflik parah yang kami alami. Bahwa, Mutmainah sangat tidak pelit, memang benar. Ia berasal dari sebuah provinsi yang kalah terkenal dengan provinsi asalku, tentulah dapat ditebak, orangtuanya berada.Â
Ia bukan hanya dibelikan apartemen di ibukota untuk tempat tinggalnya sehari-hari saat kuliah, tapi ia pun membawa mobil, sehingga ke mana-mana aku selalu nebeng bersama menaiki mobilnya.