Aku memasuki halaman kampus yang megah itu. Untuk sesaat aku tertegun kemudian memenuhi hatiku dengan rasa syukur yang tak habis-habis. Bagaimana tidak? Kampus ini adalah impianku sejak aku masih SMP. Â
Aku selalu mengkhayal bisa kuliah di kampus ternama di ibukota dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku. Hati siapa yang tak kan senang? Walaupun terkabul tidaknya sebuah harapan adalah ujian.Â
Namun, tak dapat diingkari manakala ujian tersebut berwujud terpenuhinya harapan, tentu ada kebahagiaan tersendiri yang serasa meluap tumpah ruah  di hati.
Di sudut pagar masuk kulihat ia sendirian. Ia beberapa kali kulihat selalu sendirian. Pagi ini ia bergaun warna biru donker polos, rok berpotongan terusan, berikat pinggang lebar berbentuk pita besar yang diikat di belakang, mengenakan sepatu boots selutut berwarna hitam senada dengan  backpack yang menempel di punggungnya.
Wajahnya membulat, saat tersenyum tampak samar lesung pipinya menyembul malu-malu dari balik pipinya yang chubby. Rambutnya lurus berpotongan shaggy dengan poni berjuntaian di kening. Matanya membulat tajam saat menatap sesuatu, membuatku gemas ingin segera berkenalan.
Aku pun melangkah mendekatinya. Entahlah, ini karakter normal lelaki ataukah aku yang sok playboy karena pernah patah hati? Dulu, awal merintis mimpi, aku pun bermimpi menjadi lelaki baik-baik yang setia kepada satu orang wanita seperti yang dicontohkan papa.Â
Akan tetapi, sungguh tidak mudah bermimpi menjadi orang baik-baik. Setan seolah tak sudi melepaskan jerat dan aku adalah satu di antara buruan yang terperangkap jeratnya.
Cinta pertamaku kujatuhkan kepada seorang teman di kelas sebelah tatkala aku kelas satu SMA. Wajahnya imut lucu berbalut kerudung. Aku selalu terbayang-bayang. Ternyata bukan hanya aku yang terbayang-bayang.Â
Beberapa teman lelaki pun berkhayal serupa. Maka, sudah dapat ditebak, aku pun harus gigit jari ketika ia lebih memilih Boy, yang selalu menyetir mobil pribadi ke mana pun ia pergi.
Dengan kecewa dan luka yang seakan berdarah-darah, aku pun berubah haluan dalam impian. Peduli amat tentang impian menjadi lelaki setia seperti papa kepada mama. Aku malah berangan-angan menjadi play boy. Aku berangan-angan membuat kaum wanita patah hati berdarah-darah separah luka yang pernah ditorehkan si jelita, Adisty Ratna Wirastuti.
Ia pun kudekati semudah aku mendekati wanita yang lain-lain karena sesungguhnya aku tergolong tampan. Dalam hitungan hari tanpa menunggu minggu apalagi bulan, ia pun sudah masuk dalam perangkapku. Aku pun mulai mengaturnya.Â