"Termenung. Mikir apa sih?" tanya Marinda memandangku yang melihat ke arah lembah bekas terjangan lahar dingin.
"Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran wanita,"jawabku asal saja.
"Bukankah banyak informasi tentang ABRI gadungan yang memoroti wanita habis-habisan...
"Ada kebanggaan jika berpasangan dengan profesi yang ngetop di Indonesia, misalnya ABRI, Pilot, dokter,"lanjutnya.
"Dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk melakukan pendekatan bahkan biaya berwisata?" kataku yang akhirnya kuhentikan.
Bukankah biaya wisata kami ke Jogyakarta ini semula Marinda yang ingin membiayai, namun aku menolaknya. Toh akhirnya tante yang membiayai. Aku cemas ia semakin mencintaiku sementara aku belum memiliki rasa apa-apa selain sebagai teman baik. Selain semakin mencintaiku, bagaimana jika ia malah merasa sudah memilikiku, sudah merasa "membeliku" lantaran seringkali mengeluarkan uang untukku? Lalu berulah semaunya demi menunjukkan kepada massa bahwa aku telah "dibelinya"?Â
"Adakah yang mengherankan?" ia balik bertanya.
"Aku heran kepadamu. Mengapa tidak memburu profesional yang bergengsi di Indonesia, mengapa memburu aku?" juga kukatakan asal saja. Semata agar ia tidak semakin mencintaiku.
"Aku ingin menjadi pekerja keras seperti mamamu,"jawabnya ringan seolah tanpa beban. Betulkah yang dikatakannya? Jangan-jangan ia berangan-angan menjadi ratu lebah karena warisanku? Dalam laut dapat diduga, dalam hati orang siapa yang tahu?
"Kalian selalu curiga. Aku tidak berangan-angan sejauh itu. Bukankah kita berteman sejak SMP? Sejak saat itu aku pun sudah baik kepadamu yang rajin mengerjakan PR,"jawabnya seolah dapat menyelami prasangka burukku.
Aku kembali diam termangu. Yang dikatakannya memang benar. Ia sudah akrab denganku sejak kami kelas satu SMP. Saat itu orangtuaku belum memiliki pabrik dan baru merintis usaha.