"Ia pernah minta izin untuk berpoligami. Karena itu aku diminta lebih perhatian kepada anak-anak. Â Ia ingin bisa leluasa keluar dari rumah sepulang kerja untuk mencari rezeki tambahan."
"Mengapa Kamu mengiyakan?" di luar dugaan, kakaknya berteriak histeris,"Seharusnya Kamu melarang!! Wanita macam apa Kamu! Â Seharusnya Kamu mengatakan tidak mau dimadu, bukan malah mengizinkan yang membuatnya mati karena ingin banyak uang!!"ia masih marah sambil menarik ujung selendang yang kugunakan untuk menggendong anak bungsuku. Ia marah seolah kesurupan, membuatku ketakutan.
Duh...aku pula yang salah? Seharusnya aku mencegahnya? Air mataku pun berlinangan. Cinta lama yang menghilang karena permintaannya mendua, kini membayang lagi. Terbayang lagi sikap manisnya. Terbayang lagi perhatiannya. Dan aku membiarkan lamunan atas dirinya membayangiku sampai sore datang meredupkan sang surya. Saat aku harus pulang kembali ke rumah menemani anak-anakku lagi seperti biasanya. Anak-anak yang begitu cepatnya menjadi tak berayah. Anak-anak yang ada dan tiadanya ayahnya, tetap saja bakal tak berayah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H