Angin pagi membawaku kembali melangkah ke pantai itu. Pantai penuh kenangan karena di sanalah kali pertama kami bertemu. Aku berenangan di tepian bersama teman-teman. Kakiku mendadak seolah tergelincir. Tubuhku sangat susah kugunakan untuk berdiri. Lututku serasa lunglai. Aku pun hanya bisa jongkok dengan membiarkan pasir laut seakan semakin lama semakin menyedot tubuhku.
Air laut yang semula hanya sebatas leher sudah mulai naik dan naik menuju dagu, hidung. Air yang memasuki hidung membuat seolah tersedak, tapi bukan tenggorokan yang merasakan tersedak melainkan hidung. Kepalaku terasa berat. Sayup-sayup terdengar suara,"Dorong tubuhnya ke tepian."
Aku tersadar. Seorang diri terbaring di amben bambu milik penjual es kelapa muda. Beberapa temanku tampak riang melihatku membuka mata. Dia tersenyum menyodorkan segelas air kelapa muda tatkala aku sudah dapat duduk.
"Dialah yang menolongmu. Kamu sih, hampir tenggelam tidak berteriak minta tolong. Kalau saja mas ini tidak menolek ke arahmu, lalu dengan sigap mengangkat tubuhmu, entahlah bagaimana jadinya."
Karlie memberondongku dengan omelan yang kutanggapi dengan senyum. Aku pun tak sadar mengapa tidak sanggup berteriak meminta tolong? Bahkan untuk berdiri pun aku tak sanggup padahal aku masih berada di tepian pantai yang airnya  hanya setinggi pinggang.  Kakiku yang serasa terkilir malah membuatku jongkok sehingga air laut pun dengan leluasa mengacak-acak wajah dan kepalaku.
Sejak saat itu, kami sering bertemu. Aku sulit melupakan upayanya dalam menolongku berlanjut dengan sikapnya yang selalu perhatian bahkan cenderung romantis. Entah mengapa. Mungkinkah karena aku telah bekerja sejak usia belia? Sejak lulus diploma dua? Sehingga aku sulit mencerna ketulusan para pemburuku? Seringkali aku tidak percaya terhadap ketulusan mereka. Seringkali aku berkhayal andaikan aku belum bekerja belum berpenghasilan, akankah mereka antusias memburu?
Prasangka buruk yang diperparah dengan kondisiku sebagai anak sulung dengan sejumlah adik, membuatku seolah lebih mementingkan mereka daripada diriku sendiri. Maka, manakala ada seseorang yang terkesan begitu peduli kepada keselamatanku, aku pun takluk tanpa perlu dirayu.
"Sebagai lelaki, kelak aku ingin berpoligami. Boleh kan?" pintanya senja itu, juga di pantai ini. Kami berjalan-jalan di sepanjang pantai yang pasirnya terasa masih hangat setelah seharian bercengkerama dengan mentari. Â Aku tertegun sesaat tanpa bisa segera menjawab, hingga ia mengulangi permintaannya.
Entah karena pesaingku belum tampak wujudnya, entah karena cemas kehilangan dirinya karena pernikahan sudah semakin dekat? Pesaing yang masih berada dalam angan-angannya karena menjelang pernikahan itu hanya aku yang dimilikinya. Yang pasti, tanpa sosok yang nyata, yang jelas-jelas dibandingkannya dengan diriku, yang terlintas di hati bukan kecemburuan, melainkan persetujuan. Dalam anggapanku, bisa saja ia menguji kesabaranku.
Anak-anak pun lahir beruntun tiga orang dalam jarak berdekatan. Tiba-tiba ia kembali teringat akan permintaannya.
"Waktuku akan banyak tersita untuk mencari uang."