"Aku lagi sedih,Ted,"keluhnya seusai makan. Kami duduk di taman kampus di bawah pohon flamboyan yang cukup meneduhkan siang itu.
"Mengapa sedih?"
"Pacarku cuekin aku,"ekspresinya murung.
"Ah, gampang itu. Jika dicuekin lelaki, cuekin balik dong,"jawabku sambil sekali lagi memintanya menarik kain lengan yang melorot sebelah jika perkuliahan dimulai sejam lagi. Ia pun menuruti saranku.
"Jadi aku harus cuekin balik? Gimana kalau aku jadi terkesan tegas dan mandiri?" tanyanya polos. Duh, aku menggaruk kepala yang tidak gatal,"Lalu ia malah menjauh?"
"Hermalita Saskia Ayunda,"sengaja kusebut nama lengkapnya,
"Jika kamu tegas dan terkesan independent lalu ia menjauh, berarti ia tidak layak untuk Kamu. Dengan menampilkan diri sebagai sosok berharga, itu menunjukkan bahwa tidak semua bisa mendekati Kamu, kan?  Dirimu bukan untuk diobral karena Kamu bukan barang.  Tunjukkan bahwa Kamu hanya pantas didekati lelaki spesial yang bisa menghargai kemandirian dan ketegasanmu. Jangan berlagak  manja yang memang lucu sesaat. Tapi jika terus-menerus menunjukkan kemanjaan dan kebergantungan, ia malah bosan kan?Â
Tiga minggu kemudian, ia bercerita dengan wajah berbinar-binar, bahwa ia telah sanggup mengabaikan pacarnya, bahkan saat si pacar datang, ia berani tegas memutusnya. Aku terkejut. Kepalaku mendadak terserang angin puting beliung.
"Lho, putus? Kamu masih cinta?"
"Sebetulnya masih,"jawabnya ragu. Wajah imutnya semakin tampak polos saat mengisap sedotan es jusnya.
"Lita,"tegas suaraku,"Mengapa putus jika Kamu masih cinta?"