Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jerat Langkahmu

17 Oktober 2020   06:56 Diperbarui: 17 Oktober 2020   07:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi, aku terlalu gengsi untuk segera menemuinya. Aku hanya datang saat ayahnya meninggal. Setelah itu, aku tidak lagi berusaha mencari info tentang dirinya maupun keberadaannya, hingga suatu hari berita mengejutkan pun kuterima. Ia menikah dengan anak ibu sambungnya. Ada apakah? Jangan-jangan ia diperkosa seperti kecemasan ayahnya yang disampaikan kepadaku dulu. Beberapa hari aku termenung antara perasaan bersalah dan kehilangan ditingkah ada getar cinta menyertainya.

Hah...aku mencintainya? Tidak!!! Teriakku dalam hati, kendati dalam perjalanan hidupku, tak selalu dapat kujumpai wanita seunik dirinya. Wanita yang bagiku telah diberi potensi untuk pasrah diam di rumah saja berkembang biak tanpa kekurangan sesuatu apapun, tapi ia berusaha melawan untuk tidak segera seirama dengan kodratnya. Ingin menikmati alam bebas dulu, ingin berusaha bertemu soulmate dulu, sebelum akhirnya ia menyerah kepada kodratnya sebagai wanita.

Namun, betapa malang nasibnya. Ia menikah dengan lelaki yang tidak disukai ayahnya, bahkan ia pun tidak suka, dengan alasan yang tidak jelas pula mengapa ia akhirnya menikah dengannya? Lelaki itu tergiur pada sensualitas tubuhnya atau harta warisannya? Duh...hatiku teriris pilu. Naluri lelakiku mendadak memprotesku tak habis-habis. Mengapa aku tidak melindunginya? Bukankah ia begitu baik kepadaku?

Alam memang tak ingin membiarkan kepedihan berlama-lama mendera batinku. Tiba-tiba pula ia datang pada pernikahan teman sekelasku, yang juga temannya di media sosial. Ia tampak datang sendirian.

"Kamu sendirian?" tanyaku di sela hiruk pikuk suara musik. Maka, pertanyaan pun kuulang dengan menuliskannya di sebuah kertas tisu yang berada di meja. Pertanyaan yang tidak seharusnya kusampaikan karena menjelang memasuki ruang pesta, Fikri yang telah beristeri mengatakan kepadaku bahwa ia baru saja bercerai.

"Masih ingin naik gunung bersamaku?" pertanyaan pun kuganti demikian.

"Tentu dong. Keinginan itu seakan telah ribuan tahun mengendap bahkan telah membatu di hatiku," jawabnya puitis, juga di kertas tisu.

"Bersiaplah. Aku akan mengajakmu menghilang dari masa lalumu yang kelabu."

"Bersama warisanku?" ia membalas dengan tersenyum tanpa memandang kepadaku. Aku pun tersenyum menjawabnya,

"Tentu dong. Kita realistis saja. Masa depan kita masih belum tentu. Bawalah sebagai tabungan persiapan masa paceklik."

Ia pun tertawa. Kemurungan seolah telah menghilang dari wajahnya. Aku seolah melihatnya lagi saat di puncak gunung, saat kami kehujanan, saat kami kepanasan di pantai, juga saat kami berteduh di warung indomie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun