Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jerat Langkahmu

17 Oktober 2020   06:56 Diperbarui: 17 Oktober 2020   07:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita ini pencinta alam atau penikmat alam sih?" tanyaku kepadanya meluncur begitu saja. Ia anggota baru kelompok pencinta alam yang kuikuti. Mengapa aku begitu peduli? Entahlah, mungkin karena ada yang unik dalam dirinya. 

Secara fisik pahatan tubuhnya cewek banget, cenderung sensual. Perempuan terpahat seperti itu bagiku semestinya segera menikah, pasti banyak anak. Barangkali semesta memang sengaja memahat fisiknya sedemikian rupa sebagai penarik kumbang jantan untuk membuahinya sebanyak-banyaknya.

Akan tetapi, sepertinya ia memberontak terhadap kodratnya. Selain lagaknya menunjukkan kesan sebagai kutubuku, tas yang sudah berat dengan beberapa baju dan makanan itu terlihat masih diisi dengan beberapa buku, ia pun tampil dengan lagak tomboy. Hem gombrong dan celana panjang yang juga gombrong tetap saja tak dapat menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dipamerkan kepada kami, lawan jenisnya.

"Hati-hati, jalanan mendaki. Jaga baik-baik dalam diri, jangan ada yang berjatuhan." Seru fikri terdengar di belakangku. Aku menoleh ke wajahnya, yang sekilas tampak memerah, namun tidak lama. Sepertinya ia sudah kebal terhadap gurauan seperti itu. Maka jawabannya pun santai,

"Kalian hanya penonton. Aku yang harus membawa ini capek juga tahu? Jika memungkinkan, kutitipkan saja pada Kalian. Fikri satu, satunya lagi Kamu yang bawakan. Biar aku merasa bebas dan ringan," jawabnya menoleh ke arahku, yang diiringi derai tawa Fikri.

"Mau. Mau," jawabnya tapi melihat Dona sudah menampilkan ekspresi biasa saja seolah tak pernah terjadi gurauan selintas tadi, kami pun akhirnya diam, bahkan ia menjawab pertanyaanku,

"Setiap orang memang memiliki definisi tersendiri tentang pencinta alam," jawabnya sambil berjalan. Sesekali menyentuh bunga liar tanpa memetiknya, "Secara epistemologi pencinta alam adalah para pencinta lingkungan hidup secara lebih luas, bukan hanya naik gunung. Definisi cinta yang harus dibuktikan dengan perbuatan. Pembuktian tersebut bisa berupa pengorbanan. Dalam konteks mencintai alam, tentu wujud nyata dari pengorbanan tersebut ialah upaya melestarikan lingkungan. Pelestarian lingkungan itu pun meliputi banyak hal, misalnya  menjaga ekosistem, habitat flora dan fauna, tidak membuang sampah sesukanya, menjaga kondisi sungai, melakukan penghijauan juga kan?"

Hmm... jawabannya semakin menunjukkan bahwa ia berkeinginan agar sensualitas tubuhnya bukan untuk dijadikan bahan bercanda "ngeres". Upayanya bergabung dengan kelompok pencinta alam semakin menunjukkan bahwa ia penyuka kemandirian.

"Betul,"jawabku,"Karena itu lingkup aktivitas kaum pencinta alam seharusnya memang tidak hanya mendaki gunung. Namun, para pendaki gunung pun semestinya menunjukkan rasa cintanya kepada alam dengan cara ikut memelihara kelestariannya. Selain itu, kita pun seharusnya peka terhadap isu kontemporer tentang kondisi alam dari pemanasan global, permasalahan sampah, pembakaran hutan, banjir, serta isu yang berkaitan dengan agraria,"jawabku entah tak mau kalah atau sekadar menunjukkan simpati kepadanya atau malah mencoba menarik simpatinya? Entahlah.

Yang pasti, Fikri segera berlalu meninggalkan kami dengan langkah lincah mendahului kemudian melambaikan tangan sebelum menghilang di balik pepohonan, meninggalkan kami berdua yang tengah berbincang mengenai alam dan lingkungan.

"Masih ada saja tumpukan sampah menggunung di gunung, apakah bisa dianggap sebagai bukti bahwa pendaki gunung bukan selalu pencinta alam? Lalu apa dong? Penikmat alam kali ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun