Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petaka Pukul 00.00

14 Oktober 2020   08:16 Diperbarui: 14 Oktober 2020   08:19 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surti kembali menemui Birun. Lelaki muda itu pun tidak banyak berkata, memboncengnya menuju bukit kecil tempat tinggal mbah Sira. Seperti pengalaman sepuluh tahun yang lalu, Surti pun tetap harus membungkukkan badan untuk memasuki gubug mbah Sira, karena gubugnya didesain beratap setinggi orang duduk. Di dalamnya terlihat mbah Sira tengah duduk di depan dupa yang mengepul menebar bau kemenyan.

Seperti sepuluh tahun lalu, Surti pun tetap bergidik melihat mbah Sira. Sosok ini manusia ataukah sejenis genderuwo, tanya hatinya. Jika manusia mengapa tidak memiliki keinginan bertempat tinggal normal seperti layaknya manusia lainnya? Gubugnya jelek dan jorok, jika tidak dapat dikatakan hampir roboh, dengan desain sangat rendah hanya bisa digunakan untuk duduk dan tiduran.

"Ada masalah apalagi Wong Ayu?"tanya mbah Sira menatapnya. Bulu kuduk Surti mendadak meremang. Mbah Sira tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.

"Suamimu rezekinya seret?" Surti mengangguk. Tenggorokannya serasa tercekat sehingga ia tidak sanggup menjawab. Mbah Sira menengok ke arah kemaron, keramik dari tanah liat, di sebelahnya.

"Sebetulnya yang seret itu rezekimu,"ujar mbah Sira sambil memperlihatkan beberapa cangkir dari tanah liat, "Rezekimu sebetulnya hanya sebesar cangkir ini,"lanjutnya sambil mengangkat cangkir terkecil.

"Tapi Mbah,"Surti menjawab,"Karena itu saya berusaha." Suaranya gemetar diiringi gelegar tawa mbah Sira yang kembali menatapnya.

"Boleh berusaha. Jika tak ada malaikat yang menolong, setan pun mau. Pasti mau,"setelah mbah Sira menghentikan tawanya,"Sepuluh tahun lalu, Dimas, atasanmu di kantor, telah Kautaklukkan atas bantuanku, bukan? Ada apa dengan dirinya sekarang?"

"Mas Dimas tidak secerdas sebelum menikah dengan saya, Mbah. Ia seolah linglung, segala pekerjaan akhirnya diserahkan kepada saya, padahal saya juga repot mengurus rumah tangga."

"Tentu saja. ia menjadi linglung karena kubuat takluk kepadamu."

"Seharusnya kan hanya takluk kepadaku, Mbah. Tidak lumpuh semua otaknya. Segala kesibukan akhirnya saya harus turun tangan. Kini ia di-PHK pula. Bagaimana kami bisa hidup,Mbah?" Surti pun berurai airmata.

"Bagaimana saya ngerti kerja otak? Yang penting dilumpuhkan agar takluk kepadamu, ya sudah. Jika akhirnya takluknya tidak hanya kepadamu, itu risiko." Surti masih menangis.

Ia tidak dapat membayangkan bagaimana komentar para sosialita menanggapi PHK yang dialami suaminya. Biasanya ia hidup bergelimang harta. Dulu, kelinglungan Dimas semakin membuatnya menguasai kesibukan suaminya termasuk penyelewengan keuangan. Jika kini suaminya di-PHK, ia benar-benar merasa hidupnya hancur.

"Mengapa rezeki saya sebetulnya  kecil, Mbah?" tanya Surti.

"Memang kenapa? Apakah hal itu menghalangimu untuk merasa bahagia? Walaupun rumah saya seperti ini, saya senang saja. perjalanan menuju rumah saya banyak tanaman bunga yang menebar aroma wangi. Itu pun sudah membuat saya berbahagia...

"Mbah mengatakan cara saya mendapatkan suami itu suatu kesalahan, karena menggunakan guna-guna. Jadi pekerjaan Mbah juga salah?"

"Kamu tidak tahu siapa saya kan? Bagaimana jika saya sejenis iblis? Tentu pekerjaan saya ini baik, karena tugas saya memang menggoda manusia." Mbah Sira pun menjawab dengan tertawa terkekeh-kekeh. Surti kembali bergidik seolah mendengar suara tawa makhluk yang telah berumur ribuan tahun.

"Kami tidak pernah melakukan kesalahan yang merugikan sesama kami,"lanjutnya lagi sambil menatap Surti.

"Mbah,"Surti masih penasaran,"Jika rezeki saya kecil, untuk apa saya berusaha? Untuk apa bekerja? Usaha salah atau benar tetap saja rezeki saya kecil, kan? Itu tidak adil!!" keluh Surti yang membuat mbah Sira terdiam sesaat.

"Kamu harus berusaha, agar organ tubuh dan otakmu berfungsi. Apapun hasilnya. Yang bikin bahagia itu proses memburu keberhasilan. Langkah demi langkah beserta risikonya, bisa diceritakan ke anak cucu, kan? Berhasil tidaknya itu nomor dua. Toh, jika keberhasilan tercapai, Kalian tak akan puas. Esoknya Kami akan selalu menggoda agar Kalian berusaha meraih yang lebih dan lebih lagi, kan? Jadi, kenikmatan keberhasilan hanya terasakan sekejap. Lebih nikmat proses berjuang. Lalu, apa bedanya rezeki kecil dan besar? Toh Kalian juga tak akan pernah puas sebelum dikembalikan ke tanah,"Mbah Sira tertawa menggelegar.

"Jadi untuk apa mikir rezeki sedikit atau banyak?" berusaha sajalah biar merasakan indahnya berjuang,"lanjutnya.

"Kalau perjuangan berhasil tentu nikmat Mbah. Bisa punya rumah mewah, mobil mewah. Bisa bangga...

"Bangga jika tak ada saingan. Jika ada yang menyaingi yang lebih mewah, Kami akan memanas-manasi Kamu untuk berjuang lagi. Entah bagaimana caranya,"Mbah Sira terdiam," Karena panas ada yang lebih kaya? Atau bosan dengan yang ada?" tebak Mbah Sira jitu,"Itu karakter. Jika Kamu sadar info dariku bahwa rezekimu sebetulnya kecil, harusnya Kamu malah berhenti berusaha menemui aku di sini. Tapi Kamu nekat. Kamu datang lagi untuk minta pesugihan, kan?"

"Betul Mbah,"jawab Surti ringan sambil membayangkan ibu-ibu sosialita yang akan menyindirnya jika ia terlihat bangkrut. Kupingnya tentu tidak akan kuat.

Mbah Sira pun mengajaknya keluar gubug menuju sumur dangkal. Di situ tampak berseliweran makhluk aneka bentuk. Ada ular bersisik kepingan uang emas, ada babi, ada anak kecil gundul, dan beberapa makhluk lainnya.

"Mereka kutahan di sini. Itu ruh mereka yang dulunya minta pertolongan kepadaku, termasuk ruh Kamu kelak,"kata Mbah Sira.

Surti tidak peduli. itu urusan nanti toh yang meninggal belum pernah kembali sehingga tidak bisa diinterogasi. Yang penting ia tidak diejek. Ia bisa pamer di depan teman-teman sekelompoknya bahwa ia baik-baik saja walaupun informasi suaminya  yang telah di-PHK menjadi viral.

"Pilih satu di antara mereka. Kamu akan kaya. Itu si babi ngepet. Ruh Kamu akan mencari uang dalam wujud babi. Jika ketahuan orang waskita, Kamu dilempari sampai kepalamu benjol. Keesokan harinya ia akan tahu bahwa yang tadi malam menjadi babi ngepet itu Kamu, karena keningmu akan tampak benjol. Kamu mau?"

"Nggak Mbah. Malu." Ia membayangkan bakal viral jika keningnya tiba-tiba benjol tanpa sebab.

"Hmm...itu si thuyul. Ia akan mencari uang untukmu sesuai dengan jumlah tebusanmu kepadaku. Jika Kamu membelinya seharga 100 ribu, ia pun akan mencari uang 100 ribuan banyak banget."

"Nah, ini asyik Mbah."

"Tapi, ia kan anak-anak. Ia akan menyusu...

"Tidak Mbah. Risih. Tentu giginya nggak beraturan." Surti bergidik ngeri. Maka, mau tak mau, pilihan pun jatuh pada si ular bersisik keping uang emas.

"Itu Ki Blorong. Ia akan datang ke rumahmu setiap seminggu sekali pukul 00.00 untuk mengibaskan sisiknya agar berjatuhan di kamarmu. Karena itu, sediakan kamar gelap. Semua orang dilarang masuk kecuali Kamu. Jika datang, ia akan melilit tubuhmu sampai uangnya berjatuhan."

Surti menerima persyaratan tersebut, kemudian pulang dengan riang. Ruang belakang, tempat pakaian yang akan diseterika, dimasukinya, kebetulan malam itu menjelang pukul 00.00. Ia pun sudah masuk kamar sejak pukul 11. 50.

Suaminya yang sedang sedih karena di-PHK, tiap malam bangun untuk melakukan salat malam. Saat itulah, ia melihat seekor ular melintas memasuki kamar belakang yang tengah ditempati isterinya, katanya sedang menyeterika. Maka, diraihnya sapu ijuk yang berada di sebelah tempat wudu, digunakan untuk memukul ular tersebut. Di luar dugaan, ular tersebut mati.

"Ia terbunuh. Saat itu suamimu sedang berwudu. Ia melihat Ki Blorong melintas di depannya. Sebelum memasuki kamar gelap, ia memang berwujud ular kecil."

"Lalu, bagaimana, Mbah?"

"Ruh Kamu tetap terikat perjanjian, kelak Kalau mati akan kutahan, untuk kukaryakan sebagai nyi Blorong,"bengis suara Mbah Sira,"Lagipula, Dimas itu bukan jodohmu. Kamu memaksanya dengan minta bantuan guna-guna kepadaku. Kalaupun aku bisa membangkitkan gairahnya kepadamu, tapi itu tidak cukup. Nafsu dan cinta tidak cukup untuk melanggengkan pernikahan. Kalian harus satu visi. Memiliki kesamaan dalam tujuan hidup ke depan. Itu yang tidak Kalian miliki. Visi Dimas dengan Kamu jelas berbeda. Kamu hanya ingin harta dan kemewahan...

"Nggak paham, Ki,"tanya Surti lagi masih bersedih.

"Harusnya, mencari pesugihan itu berdua. Karena ada kesamaan visi. Hanya Kamu yang datang ke sini sendirian tanpa ditemani suami seperti ibu-ibu lainnya. Dimas pasti tidak mau jika Kamu terus terang kan? Apalagi pengaruh guna-guna agar ia selalu menurutimu, yang aji-ajinya kuberikan kepada Birun, telah luntur karena Kamu nggak memberinya uang sebanyak saat Dimas belum di-PHK."

"Bagaimana dengan ruh saya? Bukannya misi Ki Blorong gagal?"

"Itu bukan urusan saya. Kan sudah kukatakan jangan mikirin keberhasilan, toh Kamu tak akan puas. Kamu akan mengejar yang lebih lagi dan lagi. Nikmati saja prosesnya. Kini Kamu telah gagal bekerja sama dengan Ki Blorong. Usahamu sudah cukup, kecuali Kamu mau mengorbankan nyawa anak kesayanganmu...

"Jangan Mbah. Bagaimana kalau Dimas?" tawa Mbah Sira menggelegar.

"Kamu jangan membodohi aku. Dimas bukan lelaki yang Kaucintai, kan? Selingkuhanmu itu cinta sejatimu. Aku mau kalau dia, tapi bukan Dimas, karena Kamu tidak cinta. Untuk apa aku menolongmu jika dampaknya tidak membuatmu menderita kelak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun