Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyeimbangkan Kesuksesan dan Kebahagiaan

13 Oktober 2020   21:24 Diperbarui: 13 Oktober 2020   21:31 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klinik Fotografi (Kompas)

Carilah nasihat dari orang-orang yang akan mengatakan kebenaran sejati tentang Anda, walaupun akan menyakitkan Anda. Pujian belaka tidak akan membawa kemajuan yang Anda perlukan

 ( Napoleon Hill)

Jadwal onair melalui google meet pukul 08.00. waktu masih menunjukkan pukul 06.27, ada kesempatan membuka-buka buku barangkali menemukan inspirasi untuk ditulis? 

Nah...ini topik yang menarik, topik yang berkaitan dengan keberhasilan dan kebahagiaan. Jika kita bertanya, adakah orang yang tidak mengingini keberhasilan dan kebahagiaan? Tentu tidak ada, bukan? Pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan. 

Akan tetapi, bagaimanakah cara menyeimbangkan antara keberhasilan dan kebahagiaan? Ini yang perlu dibahas, bukan? Jika mengena bisa ditiru, jika tidak pun tidak apa-apa, karena menyeimbangkan keberhasilan dengan kebahagiaan memang bukan hal yang mudah.

Ukuran sukses bagi penduduk perkotaan tidak jauh dari materi, begitulah kurang lebihnya isi paragraf pembuka dari subjudul "Buat Keseimbangan antara Keberhasilan dan Kebahagiaan". 

Seseorang dapat dianggap sukses jika memiliki karier cemerlang, gaji di atas rata-rata, rumah dan mobil mewah, serta memiliki pergaulan dengan kaum kalangan atas. Begitulah kriteria kesuksesan. 

Jika demikian, tidak mengherankan kalau akhirnya rasa bahagia pun sulit didapat. Kita seolah diprogram ibarat robot, harus mengikuti kriteria sukses yang telah diopinikan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu dengan kata sukses tersebut.

Adapula orang yang rela berangkat pagi-pagi ke kantor kemudian pulang larut malam tanpa menghiraukan keinginan berkeluarga bahkan yang berkeluarga pun mengabaikan keberadaan keluarganya.

Demi apa? Demi kata sukseskah? Oleh karena itu, menyeimbangkan antara pekerjaan (sukses karier) dan kehidupan pribadi (kebahagiaan hidup) menjadi masalah bagi hampir setiap orang, terlebih manusia modern yang memaknai sukses dari kriteria materi dan popularitas semata.

Walaupun demikian, tidak semua orang menjadi kecanduan bekerja karena mengejar kesuksesan. Adapula orang menjadi kecanduan bekerja karena beberapa faktor berikut, sesuai ringkasan dari bahan bacaan berjudul Vaksin Krisis halaman 57-60, yaitu:

1. Faktor psikologi/ mental. Beberapa orang memang suka bekerja keras. Mereka rela mengorbankan kehidupan sosial demi meraih target hidupnya. Biasanya sejak kecil telah menerima arahan yang membuatnya tumbuh menjadi pekerja keras demi sebuah target. 

2. Faktor hati terluka. Sejak kecil telah menerima perlakuan menyakitkan sehingga membuatnya merasa tertolak jika tidak bekerja keras. Perilaku nomor satu dan dua jika dilakukan dengan mengabaikan keluarga tentu berisiko membuatnya kehilangan kehidupan pribadinya beserta kehangatan dalam keluarganya.

Bagaimanapun, kesibukan yang berkaitan dengan pekerjaan yang bertumpuk entah karena terlalu banyak beban maupun kesulitan membagi waktu antara perhatian kepada pekerjaan dan keluarga, jika dibiarkan berlarut-larut tentu akan membuat kening cepat berkerut. Selain itu, kelelahan  kemudian stress juga membayangi karena daya tahan tubuh yang dipaksa bersibuk  melampaui batas tentu akan menurun.

Jika kondisi antara kesibukan dan kehidiupan pribadi menjadi tidak seimbang, jika kesibukan di kantor telah menyebabkan masalah dalam keluarga, misalnya tidak sempat menemani anak mengerjakan PR, tentu kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek berikut ini: 

1. Emosi, meliputi kreativitas, sense of humor, bermain, self esteem, 2. Fisik, meliputi kebugaran, gizi, dan kesempatan bersantai, 3. Intelektual, mencakup pengembangan diri dan profesionalisme, penguasaan beban dan tekanan, 4. Karier,mencakup kesuksesan bekerja dan kesejahteraan finansial, 5. Sosial, meliputi kehidupan bersama keluarga, hubungan dengan orang lain, hubungan dengan lingkungan, dan masyarakat, 6. Spiritual, meliputi arti dan tujuan hidup.

Apabila kita sanggup berfokus kepada aspek-aspek tersebut di atas, tentu akan terbentuk kesatuan dan keseimbangan antara pikiran, jiwa, dan tubuh, dalam diri kita. Keseimbangan tersebut memang dapat diraih jika kita selalu memunculkan kreativitas serta memunculkan proses berpikir dengan baik. 

Akan tetapi, adakalanya kita tidak selalu dapat melakukannya terlebih saat menghadapi perubahan. Kondisi yang segera ditindaklanjuti dengan anggapan dan kepasrahan bahwa tubuh dan otak kita semakin menua. 

Menurut James Thornton (dalam Olivia,2009:61) inteligensi tidak berkurang akibat pertambahan usia. Jadi, sampai kapanpun kita  dapat meningkatkan kecerdasan serta kemampuan berpikir lebih baik.

Agar keseimbangan antara kesuksesan dan kebahagiaan semakin mudah diraih, kita dapat meluangkan waktu untuk mendengarkan musik, menyempatkan berolahraga, mengenali waktu terbaik kita untuk bersibuk sehingga tidak harus selalu mengabaikan anak-anak dan keluarga, berpendidikan tinggi walaupun tidak harus selalu berlebihan jika tidak cukup dana, mencatat hal yang penting, mengaitkan informasi baru dengan yang lama,menepis gangguan, memberi kesempatan kepada ide untuk dituang, memilih pasangan yang cerdas, serta mencari banyak pengalaman.

Sesuatu yang tidak mudah. Jika demikian, haruskah meraih kesuksesan sesuai kriteria di atas? Jika kesuksesan yang diharapkan adalah seperti tersebut di atas, namun hal itu tidak dapat diseimbangkan dengan kebahagiaan, haruskah merelakan salah satunya? Misalnya hanya kesuksesan yang dikejar dengan mengabaikan kebahagiaan?

Dalam hal ini, memang ada pendapat berbeda tentang makna kesuksesan dan kebahagiaan. Ada yang beranggapan bahwa sukses adalah jika yang dilakukan bermanfaat bagi sesama, sedangkan bahagia adalah jika ia mampu bersyukur terhadap hari-hari yang dilalui. Orang-orang dengan tipe seperti ini biasanya tidak terlalu banyak beban dalam hidupnya. 

Mereka bisa selalu merasa berbahagia hanya dengan melihat awan yang bergerak beraneka bentuk, mencium aroma mawar gunung, melihat butiran embun menempel di dedaunan, hembusan sinar matahari pagi disertai terpaan angin ke wajahnya, sudah membuatnya merasa bahagia. 

Walaupun hal itu jarang terjadi. Kalaupun ada orang yang demikian, selain stress dan kelelahan jarang mengganggu tubuhnya, mungkin hanya bisa ditemukan pada beberapa gelintir orang, misalnya seniman.

Jadi, manakah yang harus diabaikan jika kesulitan meraih kesuksesan dan kebahagiaan sekaligus? Ada pendapat yang lain lagi berkaitan dengan kata bahagia. Judul yang menarik yaitu 'ketidakbahagiaan Bukanlah Penyakit", yang menguraikan bahwa biokimia dalam tubuh tidak untuk berbahagia terus-menerus sepanjang waktu.

Ketidakbahagiaan pun diperlukan agar orang terlatih untuk berlapang dada. Dalam hal ini, kebahagiaan dianggap sebagai anugerah, bukan jaminan. Orang yang mengalami ketidakbahagiaan tidak selalu bisa dianggap hidupnya bermasalah. 

Bagaimanapun, kehidupan dengan segala liku-likunya, adakalanya memang menimbulkan kejenuhan yang membuat perasaan tidak bahagia sesekali menghampiri kita. Itu hal yang wajar, bukan?

Jika bahagia sudah dapat dimengerti, bahwa ia tidak harus selalu menyertai kita, bagaimana dengan kata sukses? Bukankah dijauhi kata sukses juga sanggup membuat tidak bahagia? 

Barangkali dengan menguatkan asumsi bahwa uang bukanlah segalanya walaupun segalanya butuh uang, dapat mengendurkan kecemasan dijauhi kata sukses. Jadi, kesuksesan dan kebahagiaan idealnya memang seimbang. Caranya, bergantung kita masing-masing dalam memaknai kesuksesan dan kebahagiaan, bukan?

Bahan Bacaan

Hutabarat, Shaut LS. 1996. Sukses dan Prestasi. Jakarta: Mitra Utama

Olivia, Femi dan Syamsir Alam.2009. Vaksin Krisis. Jakarta:PT Elekmedia Komputindo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun