Mereka bisa selalu merasa berbahagia hanya dengan melihat awan yang bergerak beraneka bentuk, mencium aroma mawar gunung, melihat butiran embun menempel di dedaunan, hembusan sinar matahari pagi disertai terpaan angin ke wajahnya, sudah membuatnya merasa bahagia.Â
Walaupun hal itu jarang terjadi. Kalaupun ada orang yang demikian, selain stress dan kelelahan jarang mengganggu tubuhnya, mungkin hanya bisa ditemukan pada beberapa gelintir orang, misalnya seniman.
Jadi, manakah yang harus diabaikan jika kesulitan meraih kesuksesan dan kebahagiaan sekaligus? Ada pendapat yang lain lagi berkaitan dengan kata bahagia. Judul yang menarik yaitu 'ketidakbahagiaan Bukanlah Penyakit", yang menguraikan bahwa biokimia dalam tubuh tidak untuk berbahagia terus-menerus sepanjang waktu.
Ketidakbahagiaan pun diperlukan agar orang terlatih untuk berlapang dada. Dalam hal ini, kebahagiaan dianggap sebagai anugerah, bukan jaminan. Orang yang mengalami ketidakbahagiaan tidak selalu bisa dianggap hidupnya bermasalah.Â
Bagaimanapun, kehidupan dengan segala liku-likunya, adakalanya memang menimbulkan kejenuhan yang membuat perasaan tidak bahagia sesekali menghampiri kita. Itu hal yang wajar, bukan?
Jika bahagia sudah dapat dimengerti, bahwa ia tidak harus selalu menyertai kita, bagaimana dengan kata sukses? Bukankah dijauhi kata sukses juga sanggup membuat tidak bahagia?Â
Barangkali dengan menguatkan asumsi bahwa uang bukanlah segalanya walaupun segalanya butuh uang, dapat mengendurkan kecemasan dijauhi kata sukses. Jadi, kesuksesan dan kebahagiaan idealnya memang seimbang. Caranya, bergantung kita masing-masing dalam memaknai kesuksesan dan kebahagiaan, bukan?
Bahan Bacaan
Hutabarat, Shaut LS. 1996. Sukses dan Prestasi. Jakarta: Mitra Utama
Olivia, Femi dan Syamsir Alam.2009. Vaksin Krisis. Jakarta:PT Elekmedia Komputindo