Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ubah Cara Bertanya Anda dan Lihat Apa yang Terjadi

11 September 2020   23:54 Diperbarui: 11 September 2020   23:56 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa ide melintas seakan menggoda untuk segera dituang ke dalam tulisan. Saya pun bergegas menuju kantor kemudian segera membuka laptop untuk menuangakn semua dan semuanya, selagi ia mau melintas. Bukankah kita sering mengalami hal yang sama? Tatkala ide yang melintas tersebut tidak segea dituang, seringkali ia ngambek, pergi meninggalkan kita seolah menguap dengan cepat. Sedemikian cepat sehingga tidak lagi dapat ditangkap.

Akan tetapi, sebelum membuka laptop, kubuka whatsapp terlebih dahulu, barangkali ada informasi yang harus dilaksanakan sangat segera, segera, maupun pelan-pelan saja? Uff...ternyata ada informasi harus segera mengirimkan nilai siswa selambatnya tanggal sekian.

Dengan harapan semoga mereka pun memahami kebiasaan bahwa begitu satu kompetensi dasar terselesaikan, akan diikuti dengan penilaian? Maka, saya pun menyampaikan sudah siapkah mereka menghadapi ulangan? Ternyata mereka sudah siap, bahkan meminta link untuk segera diberikan hari itu juga, sore hari pukul 18.00. Syukurlah, walaupun masih belum diizinkan ke sekolah, mereka tetap bersemangat belajar di rumah, terbukti sudah siap menghadapi penilaian harian.

Jadilah, saya harus memeriksa soal-soal yang tersimpan di google form. Adakah teks yang sudah harus  diganti? Apakah soal perlu ditambahi? Karena ada siswa yang minta soal-soal pilihan ganda sebaiknya berjumlah banyak misalnya 50 soal, sehingga masing-masing soal memiliki skor sedikit. Itu artinya, jika ada sepuluh soal yang salah, ia masih memiliki peluang untuk memperoleh nilai di atas KKM. 

Jika soal sedikit, tentu masing-masing soal memiliki skor tinggi. Jika satu soal salah, nilainya akan jauh berkurang. Hehehe. Tapi, apa salahnya dituruti? Oleh karena itu, saya pun menambah jumlah soal. Tak terasa waktu sedemikian cepat berjalan bersama dengan kaburnya beberapa ide yang pagi tadi dalam perjalanan ke kantor, seakan menari-nari di ruang mata.

Setelah ada jam pelajaran mengajar secara on air melalui Google Meet, berlanjut menulis soal, kemudian tibalah saat pulang. Sore hari sambil menunggu jawabn siswa masuk, saya pun mencoba mengingat-ingat ide yang pagi tadi menggoda. Ternyata mereka sudah pergi. Ngambek mungkin. Ya sudahlah. Saya pun mencari-cari judul buku di rak kemudian mengambil sebuah secara acak, barangkali menginspirasi.

"Bu, kira-kira hasil ulangan dari google form akan ibu informasikankah?" tiba-tiba whatsapp dari seorang siswa muncul. "Tentu saja", jawab saya. Maaf, Bu. Kira-kira jam berapa?"  Saya pun menjawab, jika jawaban siswa semua sudah terkirim sesuai durasi waktu yang kita sepakati. Saat itulah saya akan segera menutup tanggapan dari google form, agar soal tidak dapat dibuka lagi, sekaligus mengopas hasilnya.

Tiga puluh menit telah berlalu sejak saya menutup tanggapan. Saya terkejut, karena 30 lewat satu menit siswi yang tergolong rajin mengerjakan tugas-tugas yang saya berikan itu menunggu hasil ulangannya. Begitu saya lihat, hasilnya bagus juga. Secara persentase malah lebih bagus daripada ketika mereka ulangan di sekolah. Apakah karena mereka mengerjakan sore hari? Walaupun  harus bekerja sendiri tanpa ada teman di kiri kanan tapi merasa nyaman karena sore dan mengerjakannya di rumah pula?

Kembali ke buku yang saya ambil secara acak di rak berjudul  Temukan Kekuatan Question Thinking. Change Your Questions Change Your Life.  Buku tersebut ditulis seorang executive trainer dan konsultan perusahaan pada tahun 2004. Isinya sangat menarik karena menyampaikan aneka peristiwa yang berkaitan dengan berbagai pertanyaan kepada diri sendiri yang seringkali kita lakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang keliru akan memberikan jalan buntu. Demikian pula dengan pertanyaan yang benar. Ia akan membuka lebar jalan keberhasilan.

Seringkali, tanpa kita sadari, kita sering menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Pertanyaan yang bisa begini, apa yang harus saya kerjakan sampai dengan apa yang harus saya lakukan untuk hidup saya. Marilee adams, penulis buku tersebut menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang kita tujukan untuk diri sendiri, secara mendalam, akan dapat memengaruhi harga diri kita, hubungan dengan karier kita, bahkan hubungan kita dengan orang lain.

Oleh karena itu, ia pun mengenalkan question thingking, suatu sistem yang mudah digunakan untuk mentransformasi pikiran, tindakan, beserta berbagai dampaknya.  Dengan berbagai perspektif dan aternatif baru, kita diharapkan dapat mengambil langkah-langkah penuh kekuatan,  yang praktis untuk mentransformasi pekerjaan, relasi-relasi, serta kehidupan kita.

Jika hanya teori seperti tersebut di atas, kurang seru ya? Bagaimana jika diberi contoh mengenai sebuah kisah tokoh yang telah mempraktikkan teori Marille G. Adams tersebut? Okelah. Sebelumnya, tentu kita sering atau pernah, menjalani sebuah pengalaman yang jika dikaji kembali, akan selalu memunculkan pertanyaan,"Mengapa hal itu terjadi? Sebelum momen tersebut, hidup saya begitu. Setelah momen itu terjadi, hidup saya menjadi begini."

Momen-momen tersebut, yang mendasari penulis untuk menulis buku tersebut. Suatu ketika, ia menerima kritik. Saat itu perutnya mendadak mual.  Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia berusaha mendiamkan aneka kritik terhadapnya. Aneka komentar yang baginya terasakan sebagai kritik pun hanya membuatnya menangis.

Akan tetapi, saat itu manakala ia mendengar komentar serupa kritik, ia merasakan seolah telah terjadi keajaiban pada dirinya setelah mendengar komentar,"Marille, ini tidak dapat diterima." Ajaib. Reaksinya bukan menangis seperti biasanya, karena ia malah tertarik dan penasaran.  Dengan ringan, ia pun menanggapi komentar yang disampaikan penasihatnya tersebut dengan ungkapan,"Oke. Bagaimana saya memperbaikinya?"

Bagian pengamat dalam dirinya seolah mengamati semuanya kemudian bertanya dengan nada seolah tidak percaya. Betulkah itu tadi diri saya? Apa yang terjadi? Bagaimana saya bisa mengubah mood saya dengan begitu mudahnya? Penasaran dengan yang telah terjadi, pertanyaan pun melintas. Dapatkah hal yang seolah merupakan kejaiban itu diubah menjadi metode agar bisa dibagikan kepada orang lain?

Pertanyaan yang terucap, yang membuatnya merasa moodnya berubah menjadi tenang dengan mengajukan pertanyaan kembali kepada komentator, membuatnya teringat kebiasaannya sebelumnya. Kebiasaannya selalu mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri jika akan menghadapi sesuatu. Pertanyaan yang tanpa disadari, menyulut kekhawatiran, misalnya,"Apakah ia menyukaiku?", "Apakah ia dapat menerima?", "Apakah saya melakukan sesuatu yang salah?" Pertanyaan-pertanyaan yang hanya akan memperparah kecemasan, bukan? Jika hanya cemas tidak masalah. Bagaimana jika asam lambung ikutan melambung?

Oleh karena itu, ia pun memberikan solusi agar kita mulai mengoperasikan pertanyaan yang tenang dan produktif, misalnya dengan menyampaikan pertanyaan kepada diri sendiri,"Bagaimana caranya agar saya bisa diterima dalam grup tersebut?","Bagaimana caranya agar teman-teman baru itu menyukaiku?", "Bagaimana caranya agar saya bisa berhasil?", "Apa yang bisa saya pelajari?", "Kemungkinan apa kira-kira yang bakal terjadi jika saya harus berlalu?"

Pertanyaan-pertanyaan edisi revisi tersebut, selain dapat mengusir kecemasan yang adakalanya belum tentu terjadi, bahkan memang tak akan pernah terjawab sebelum dijalani, juga sanggup membuat kita tenang, bukan?

Mengapa pertanyaan semula, sebelum revisi, pernah seolah membelenggu kita? Kita, disadari atau tidak, memang hidup dalam wilayah kekuasaan pendapat orang lain. Pendapat yang belum tentu benar, mungkin hanya dilandasi iri lalu meneror, namun berdampak membuat nyali ita menjadi ciut. Parahnya, tanpa alasan logis pun, mood kita pun menguasai pikiran kita.

Oleh karena itu, kita harus berupaya mengubah pertanyaan-pertanyaan yang menyulut kecemasan menjadi pertanyaan yang solutif. Hal itu menunjukkan bahwa kita telah menempatkan diri sendiri untuk bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran kita sendiri. Pemikiran yang tidak lagi menyiutkan nyali melainkan memotivasi diri mencari memiliki kepercayaan diri yang akan berkembang menjadi harga diri.  

Bahan Bacaan

Adams, Marille G. 2004. Dialihbahasakan oleh Febiola Reza. Change Your Questions Change Your Life. Jakarta: Kelompok Gramedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun