Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mindset "Penumpang" dan "Pengemudi" dalam Pembelajaran

16 Agustus 2020   09:48 Diperbarui: 16 Agustus 2020   09:59 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

               Masih dari hasil membaca beberapa subjudul dalam buku Let's Change!, ada pendapat yang membuat saya ingin menulisnya menjadi judul yaitu perbedaan antara mindset penumpang dan pengemudi. Bagaimanakah ciri khas penumpang? Penumpang adalah orang yang duduk di samping maupun di belakang pengemudi. Mereka boleh bergurau, ngobrol sambil makan, mengantuk, bahkan tidur dari yang tidur ayam sampai tidur mendengkur. Dalam hal ini, sekilas sebagai penumpang terlihat lebih nyaman, bukan? Akan tetapi, sebetulnya mereka pasif, tidak seperti pengemudi yang aktif dan dinamis.

Penumpang jika ditinjau lebih jauh, dapat dikatakan tidak harus mengambil risiko, jika dilanjutkan bisa pula dianggap sebagai orang yang tidak berani mengambil risiko dan tidak harus mengetahui arah pula, serta seolah sudah cukup puas hidup dengan cara menumpang. Bagaimana dengan pengemudi? Selain berani mengambil risiko, aktif, dinamis, mereka pun tahu arah dan jalan. Oleh karena itu, mereka pun berpotensi mengendalikan penumpang, bahkan  seolah menggenggam nyawa penumpang pula.

Dalam subjudul Kurikulum "Berpikir" 2013, dikisahkan bahwa penulis buku tersebut ,Rhenald Kasali, kerap menyaksikan siswa atau mahasiswa sering berdiskusi bahkan aktif berdiskusi dengan guru maupun dosennya, tatkala beliau mengajar di Universitas of Illinois. 

Dari pengalaman itu pulalah, beliau memperoleh informasi  bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi siswa, bukan meringkas isi buku. Selain itu, seorang guru besar pun mengingatkan bahwa mereka telah bersusah payah mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.

 Sejak kemunculan kurikulum 1994 yang juga sering disebut sebagai kurikulum superpadat, memang seringkali terdengar pendapat bahwa sebaiknya ada perampingan mata pelajaran. Andaikan perampingan sudah dilakukan, akan berubahkah cara berpikir siswa? 

Tatkala mereka menerima aneka mata pelajaran, ada kemungkinan satu dua mata pelajaran memang tidak dipelajari secara mendalam karena memperoleh jumlah jam pelajaran yang sedikit. Dengan demikian, kesempatan berdiskusi tentang materi pembelajaran tersebut pun tidak mendalam. Jika demikian, kesempatan untuk berpikir kritis pun seakan tidak memperoleh ruang.

Yang menjadi masalah kemudian adalah bukan tentang perampingan mata pelajaran. Andaikan terjadi perampingan mata pelajaran pun para guru tidak perlu cemas kehilangan pekerjaan. Bukankah ada solusi dalam mengatasinya, yaitu melakukan team teaching?  Karena satu mata pelajaran bisa diampu oleh lebih dari satu orang guru atau sering disebut dengan istilah team teaching, bukan?

Memang pernah berandai-andai. Andaikan hanya ada enam atau tujuh saja  mata pelajaran karena MIPA diringkas menjadi satu mapel berisi matematika, fisika, kimia, biologi. IPS digabungkan dengan bahasa-bahasa. Sejarah dengan PPKn, kemudian mata pelajaran agama, mata pelajaran seni, dan mata pelajaran OR. 

Mungkin siswa tidak akan merasa terlalu banyak menerima mata pelajaran. Guru pun bisa mengajar dengan cara team teaching. Waktu per jam pelajaran bisa menjadi lebih banyak sehingga lebih banyak waktu pula bagi siswa untuk mempresentasikan hasil membaca,  berlanjut dengan diskusi demi berlatih berpikir kritis.

Walaupun perampingan mata pelajaran yang berlanjut dengan mengajar secara team teaching juga penting untuk direnungkan, tetapi  yang lebih penting lagi adalah mengubah mindset "penumpang" menuju cara berpikir "pengemudi". Bagaimana kita para guru, apalagi kelak jika sudah membentuk team teaching, menumbuhkan minat baca siswa untuk kemudian membuat mereka aktif berdiskusi, bukan sekadar meminta mereka menyusun rangkuman isi buku?

Memang diperlukan perjuangan dalam mengubah tradisi yang sudah berlaku bertahun-tahun bahkan sejak zaman dahulu kala. Masih ingatkah tradisi membedong bayi kemudian digendong? Setelah anak-anak bisa berjalan pun masih dituntun. Manakala terjatuh, yang dipersalahkan selalu benda yang membuatnya jatuh, bukan si anak yang tidak berkonsentrasi saat berjalan sehingga kakinya terantuk batu?

Dalam hal ini, terasakan bahwa daya berpikir kritis maupun latihan bernalar seolah tidak dikembangkan maksimal. Si anak kecil sudah langsung dimanjakan dengan cara diajari mencari kambing hitam manakala tersandung malapetaka. 

Hal yang mengerikan adalah apabila kelak tatkala dewasa, begitu memperoleh benturan sedikit dalam menjalani kehidupan, mereka pun segera  berteriak meminta pertolongan tanpa mau mencari solusi terlebih dahulu untuk mengatasi masalahnya. Seolah segala masalah akan selesai jika sudah meminta pertolongan, tanpa berusaha menolong diri sendiri, dengan cara mengubah mindset, misalnya berlatih berhemat agar tidak sengsara tatkala menghadapi musibah.

Kebiasaan yang sudah berakar di masyarakat dalam memanjakan anak-anak pun terlihat sejak kecil sampai mereka berumah tangga, misalnya masih melibatkan orangtua dalam mengasuh anaknya berlanjut nyaman tinggal menumpang di rumah orangtua walaupun sudah menikah. 

Demikianlah mindset penumpang yang hanya berdiam menunggu pertolongan pengemudi menuju suatu tempat tanpa mencari solusi, misalnya berjalan kaki menuju tujuan karena pengemudi sedang tidak enak badan.  Kebiasaan bermental penumpang yang pasif  harus diubah menuju mental pengemudi yang dinamis demi mempersiapkan generasi penerus menyongsong 100 tahun Indonesia Emas tahun 2045

Generasi yang akan hidup dalam teknologi yang jauh berbeda daripada sebelumnya. Manakala orang tua mereka merancang masa depan untuk mereka agar menjadi ahli hukum atau dokter, bisa jadi mereka malah bercita-cita menjadi youtuber, chef, desainer, bahkan membayangkan akan membuat robot untuk berburu tambang di planet lain.

Harapan adanya perampingan mata pelajaran berlanjut dengan mengajar secara team teaching, semoga bukan tinggal harapan. Selain para guru tidak kehilangan pekerjaan, juga waktu per jam pelajaran bagi masing-masing mata pelajaran mendapat porsi lebih banyak. Porsi yang mengharuskan siswa mempresentasikan hasil membaca yang di dalamnya terdapat diskusi untuk membawa siswa berpikir kritis dengan dipandu oleh lebih dari satu guru dalam sebuah kelas.

Dalam kurikulum 2013 ini, yang telah menempatkan siswa sebagai student centered, memang telah menyiratkan untuk memotivasi siswa lebih kreatif, berpikir kritis, serta memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa diharapkan terampil berpikir kritis dalam model pembelajaran yang memotivasi, bukan menakuti, atau menghukum, lalu membuat bingung. Untuk itu, HOTS ( Higher Order of Thinking Skills) yang merupakan sarana memacu kemampuan berpikir kritis dan kreatif pun telah diterapkan dalam pembelajaran dan penulisan soal ulangan.

Penerapan HOTS memang menantang para guru untuk menguasai materi pembelajaran beserta strateginya.  Oleh karena itu, beberapa  karakteristik HOTS pun telah dipahami guru, misalnya, berfokus pada pertanyaan, menganalisis argumen dan data, mendefinisikan konsep, menggunakan analisis logis, memproses informasi, kemudian menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah.

Selain karakteristik HOTS tersebut di atas, ada juga tips berpikir kritis yang diolah dari bahan bacaan dalam sebuah blog, misalnya 1. Bertanyalah jika Anda berasumsi. Daripada berasumsi lebih baik bertanya demi memeroleh kebenaran yang valid, 2. Lakukan riset tentang sebuah fakta. Jika menerima informasi, sebaiknya memastikan dulu sumbernya, bukan langsung menginformasikan secepatnya kepada orang lain dengan cara share ke sana-sini, 3. 

Mempertanyakan setiap hal kecil. Untuk menjadi orang yang skeptis memang membiasakan diri mempertanyakan setiap hal kecil sekalipun, misalnya, "Mengapa bulan yang menjadi penguasa malam, posisinya digantikan matahari pada siang hari?" Dengan mempertanyakan, secara tidak langsung kita akan mulai mencari jawabannya dan mengasah kemampuan berpikir kritis, 4. Memperbanyak membaca buku berkualitas. Buku adalah gudang ilmu. 

Siapa pun akan sepakat bahwa membaca dapat membuka jendela dunia, bisa memperluas wawasan. Semakin banyak informasi dan wawasan, semakin banyak pula pertanyaan yang melintas-lintas yang menuntut untuk mencari informasi dengan cara membaca dan membaca lagi. Karena membaca pun bisa membuat ketagihan, 

5. Menempatkan diri dalam posisi orang lain. Hal ini pun tak kalah penting karena dengan cara tersebut, empati akan muncul. Selain memotivasi untuk belajar berkomunikasi dengan berbagai manusia dengan aneka budaya dan karakter, juga akan membuat mengerti mengapa berbagai masalah bisa berbeda-beda jika ditinjau dari perspektif orang lain? Dengan demikian, dalam berdiskusi kepala pun diharapkan tetap dingin.

Bahan Bacaan

Artikel

Kasali, Rhenald, 2014. Let's Change! Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun