Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyikapi Ujian Berat bagi Aspek Sikap Kurikulum 2013 karena Pandemi Covid-19

11 Agustus 2020   10:04 Diperbarui: 11 Agustus 2020   10:03 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Telah tujuh tahun kurikulum 2013 diluncurkan, itu berarti telah berada di ambang pergantian. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa negara lain pada umumnya juga memberlakukan kurikulum berjalan sekitar 10 tahun sampai 15 tahun agar pemetaan hasilnya terlihat jelas. Demikian pula kurikulum di Indonesia. Pada umumnya juga diganti sekitar 10 tahunan.

Dalam dunia pendidikan, kurikulum bukanlah sesuatu yang asing. UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 butir 19 tentang Sistem Pendidikan Nasional  menyebutkan bahwa "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu"

Masing-masing kurikulum memang memiliki spesifikasi yang berbeda satu sama lain. Sesuai bahan bacaan dari brillio dan kemendikbud.go.id, di Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali sejak Indonesia merdeka. Kurikulum pertama kali yang digunakan adalah kurikulum tahun 1947, 1952, 1964, 1968, kemudian kurikulum tahun 1975, tahun 1994, 2004, 2006, menuju kurikulum 2013, berlanjut ke kurikulum 2015 yang masih berupa penyempurnaan kurikulum 2013.

 Ciri khas kurikulum 1947 tentulah mengubah orientasi kebelandaan menuju nasional berazaskan Pancasila, sedangkan pelaksanaannya dimulai pada tahun 1950. Oleh karena masih bernuansa kemerdekaan, maka pendidikan lebih dititikberatkan kepada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, sejajar dengan bangsa lain.  

Materi pembelajaran pun dikaitkan dengan peristiwa sehari-hari meliputi karakter, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, juga perhatian terhadap kesenian dan olahraga.

Kurikulum 1952 merupakan penyempurnaan kurikulum 1947. Ciri khas kurikulum 1952 yang paling tampak adalah sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional, yaitu setiap pelajaran dikaitkan dengan peristiwa sehari-hari yang dialami masyarakat.  

Berikutnya, pada tahun 1964, kurikulum kembali diganti dengan ciri khas pembekalan akademik yang sudah dimulai pada jenjang SD. Pembelajaran pun terpusat pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan moral, kecerdasan intelektual, emosional atau artistik, keterampilan (keprigelan), dan jasmani (olahraga).

Pada masa orde baru, tahun 1968, kurikulum pun dicitrakan sebagai pengganti produk Orde Lama (1964) menuju kurikulum Orde Baru yang bertujuan membentuk manusia pancasilais sejati, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral/ budi pekerti, dan keyakinan dalam beragama. 

Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni. Cirinya, muatan materi pelajaran bersifat teoretis, tidak lagi selalu mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik sehat dan kuat.

Kurikulum 1975 menekankan pendidikan lebih efektif dan efisien. Selain itu, metode, materi, dan tujuan pembelajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), lebih dikenal dengan istilah satuan pelajaran, rencana pelajaran setiap satuan bahasan pembelajaran.

 Kurikulum ini 1984 ini berciri khas mengusung pendekatan proses keahlian. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap diutamakan. Model pembelajaran yang digunakan adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Siswa diposisikan sebagai subjek pembelajaran, dari mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, sampai melaporkan.

Kurikulum 1994 yang dianggap sebagai kurikulum superpadat, merupakan perpaduan kurikulum-kurikulum sebelumnya ini (terutama Kurikulum 1975 dan 1984) perpaduan antara tujuan dan proses, dianggap belum berhasil dna banyak kritik berdatangan yang menganggap bahwa beban belajar siswa terlalu berat. Materi yang harus dipelajari meliputi muatan nasional dan muatan lokal, misalnya keterampilan daerah, dan lain-lain.

Sebagai penggantinya, muncullah kurikulum 2004, juga disebut KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dengan ciri khas, menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang variatif, sumber belajar tidak lagi berpusat pada guru, sepanjang sumber belajar tersebut edukatif.

Kurikulum 2006 ini masih sama dengan Kurikulum 2004. Perbedaannya pada kewenangan penyusunan, yaitu desentralisasi pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan silabus dan penilaian sesuai dengan kondisi setempar, hasilnya dihimpun menjadi perangkat pembelajaran yang dinamai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Kurikulum 2013 yang dilanjutkan dengan kurikulum 2015 sebagai penyempurnaan. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap. Ciri khas kurikulum 2013 adalah menekankan penilain aspek sikap sebagai penilaian yang diutamakan. Mengapa aspek sikap yang diutamakan? Mengapa tidak lagi menonjolkan pengetahuan seperti kebanyakan kurikulum era 90-an?

Berbagai fenomena negatif telah mengemuka di masyarakat Indonesia, misalnya kecurangan saat ujian, perkelahian antar pelajar, korupsi, narkoba dan sebagainya. Ulah yang memunculkan was-was, tentang bagaimana kondisi Indonesia pada masa depan? Kemerosotan nilai-nilai moral telah menunjukkan semacam sinyal lampu merah bagi lembaga pendidikan, tak terkecuali orangtua, masyarakat, lingkungan, bahkan negara, serta warga masyarakat lainnya.

Dunia pendidikan pun segera mengantisipasi dengan perlunya kembali menomorsatukan pendidikan karakter di sekolah untuk membentuk watak dan kepribadian siswa yang diwujudkan dalam mengutamakan aspek sikap. Walaupun sebetulnya pendidikan karakter telah menjadi pusat perhatian sejak tahun 1947 sebelum berkurang karena kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum superpadat.

"Plato menekankan pentingnya pengalaman masa dini dalam pembentukan karakter, akan tetapi ia juga menyatakan bahwa pengalaman dikemudian hari juga dapat mengubah karakter" (Santrock, 2003: 9). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek sikap merupakan hal yang memerlukan perhatian lebih dalam karena dunia pendidikan merupakan tempat siswa menghabiskan sebagian besar waktunya.

Dunia pendidikanlah yang diharapkan akan sanggup mengarahkan karakter siswa demi membentengi pengaruh negatif pada era globalisasi ini. Dengan panduan pendidikan sikap pulalah, kecerdasan emosional siswa diharapkan akan tumbuh selaras mengiringi aspek intelektualnya. Aneka ilmu pengetahuan dan keterampilan telah dengan mudah mereka peroleh dari google. 

Bahkan ada siswa yang menyampaikan bahwa google lebih pintar dalam memberikan ilmu pengetahuan. Hal yang mengharukan dan menyentuh perasaan para guru, karena ungkapan tersebut menyiratkan harapan betapa mereka masih memerlukan arahan pendidikan formal dalam bersikap.

Walaupun Kurikulum 2013 mengharapkan siswa selain memahami teori, juga mampu mengaplikasikannya agar mutu pendidikan menjadi baik, tidak lagi sesuai laporan "Programme for International Study Assessment (PISA) 2012 yang  menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara berperingkat terendah dalam mutu pendidikan dari skor yang dicapai pelajar usia 15 tahun untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains" (dalam Tempo, 6 Desember 2013), tetapi aspek sikap tetaplah harus diutamakan demi membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur, berilmu, dan berketerampilan memadai untuk menyongsong globalisasi.

Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan nomor 21 tahun 2016 mengatur standar isi Pendidikan dasar dan menengah. Kompetensi inti yang dirumuskan juga mencakup aspek sikap spiritual maupun sikap sosial. Contoh kompetensi inti sikap sosial yang tertuang pada lampiran peraturan tersebut untuk tingkat SMA kelas X yaitu "Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), bertanggung jawab, responsif, dan pro-aktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional".

Dalam  Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) sikap memiliki pengertian perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian maupun keyakinan. Sikap juga bisa didefenisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenal aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. 

Pengetian lain tentang sikap yaitu kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap.

 Penekanan aspek sikap yang lebih menyentuh emosi sebagai pendidikan karakter, memang perlu dibentuk melalui pembiasan. Hal ini yang menyebabkan aspek sikap berbeda dengan aspek pengetahuan. Mengapa pandemi covid 2013 merupakan ujian berat bagi aspek sikap kurikulum 2013? 

Karena dari ke-18 aspek sikap yang harus diterapkan kepada siswa, ada beberapa aspek yang tidak dapat dilaksanakan dalam PJJ ( Pendidikan Jarak Jauh), misalnya sikap disiplin, bertanggung jawab, responsif, dan pro-aktif yang tidak dapat dinilai hanya dari melihat  ketepatan mereka mengirimkan tugas melalui internet. Mengapa?  Karena jawaban mereka dapat dipastikan adalah masih menunggu uang untuk membeli paket data atau  internet sedang lelet tidak ada jaringan.

Sikap peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai) pun tidak dapat dinilai karena siswa saat PJJ kebanyakan bekerja secara mandiri. Dengan keterbatasan ini, aspek sikap apakah yang masih dapat dinilai guru? Aspek kejujuran masih dapat dinilai dari cara mereka mengumpulkan tugas. 

Apakah mereka menyertakan bahan pustaka dari tulisannya yang dikutip, diringkas, atau sekadar dibaca kemudian ditulis ulang sesuai dengan pemahamannya? Perilaku ini sebaiknya dinilai selain melatih kejujuran siswa juga berkaitan dengan etika dan akan berhadapan dengan UU HAKI jika mereka mengabaikannya.

 Sebagai guru dalam masa PJJ ini memang diharapkan tidak hanya menyampaikan pengetahuan karena siswa telah menerimanya dari google. Mereka lebih membutuhkan perhatian guru, bukan sekadar demi memperoleh nilai, misalnya menanamkan sikap positif dan empatik sesuai saran UNICEF (dalam ruang guru) antara lain

Memberi Apresiasi kepada Siswa. Setelah mereka mengumpulkan tugas, mengisi daftar hadir, serta share lokasi, sebaiknya para guru memberikan pujian, bahkan ungkapan terimakasih karena siswa tidak melalaikan kewajiban tersebut. 

Siswa yang pada PJJ ini setiap hari di rumah dan sering mendengar gerutu orangtuanya karena ulah mereka yang menjengkelkan, mungkin bertengkar dengan saudaranya, berebut mainan, bermain gawai sampai lupa waktu membantu ibu dengan dalih mengerjakan tugas, begitu memperoleh apresiasi dari gurunya atas jerih payahnya itu, tentu rasa percaya dirinya akan meningkat. 

Selain itu, jiwa kreatifitas dan inovatifnya juga akan berkembang dengan maksimal. Oleh terbiasa diperhatikan, diapresiasi,  mereka pun  akan cenderung lebih peduli dengan lingkungan di sekitarnya.

Gunakanlah kalimat yang positif dengan penyampaian yang baik dan benar. Tatkala bapak/ibu guru memberikan tugas kepada siswa, upayakan tidak menggunakan kata  "jangan" atau "tidak boleh". Ungkapan "Jangan menyontek!" dapat diganti dengan, "Kerjakan tugas  secara mandiri agar kamu lebih cepat menguasai materi." Selain itu, sampaikan juga dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati siswa. Cara tersebut pun lebih mudah diterima dan dipatuhi oleh siswa. Secara tidak langsung, siswa merasa memeroleh contoh cara menjaga dan menghargai perasaan orang lain.

Membangun sikap disiplin dan peduli lingkungan. Bapak/Ibu guru dalam situasi sekarang ini, juga bisa memotivasi siswa melakukan donasi bagi masyarakat kurang mampu yang terdampak Covid-19. Selain itu, disiplin melakukan physical distancing juga dapat disampaikan  demi melindungi diri sendiri dan sekitar dari bahaya terinfeksi virus. Sikap peduli dna tolong menolong yang dibiasakan dan disampaikan dalam pembelajaran secara daring (online) pun diharapkan dapat membuat siswa termotivasi untuk lebih peduli dan empati terhadap derita sekitar.

Bahan Bacaan: [1] [2] [3] [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun