"Kamu dengar dari siapa?"
   "Ia kakak kelas si Boy. Tania juga teman sekolahnya, tapi tidak sekelas."
   "Mengapa Kamu tidak bercerita kepadaku?" pak Wira memprotes sahabatnya itu.
   "Kamu nggak tanya. Aku pun lupa. Kukira Kalian sudah berdamai."
   Pak Wira menggeleng. Ia hanya mendengar informasi bahwa isterinya tidak seberuntung dirinya dalam berusaha. Harta yang dilarikannya tidak sanggup membuat kondisi kehidupannya membaik. Beberapa kali tertipu ajakan bisnis lelaki-lelaki buaya yang ingin memanfaatkannya. Di samping itu, gaya hidup mewahnya pun mempercepat keludesan hartanya. Maka, siapa lagi yang menjadi korban kalau bukan kedua anaknya?
      Keduanya seolah menjadi ajang pelampiasan dendamnya kepada suaminya. Kalaupun mereka masih bisa makan kenyang, itu karena usaha kuliner dan loundry yang dikelolanya dibantu kedua anaknya kendati tidak berkembang, tapi tidak tutup. Selebihnya, uang saku dan uang biaya sekolah seringkali terbengkalai. Dalam kondisi demikian, ibunya tetap melarang ayahnya untuk bertemu kedua anaknya.
      Ayahnya pun sibuk. Selain sibuk bekerja, ia pun sibuk dengan anak dari isteri-isterinya yang lain. Oleh karena itu, kepedihan hatinya akibat dilarang bertemu dengan kedua anaknya, tidaklah sanggup menorehkan guratan duka mendalam. Berlainan dengan kedua anaknya yang akhirnya mengalami trauma, terlebih anak sulungnya, si Rendy.
   "Kamu pernah bercakap-cakap dengan Tani, Boy?'
   "Nggak pernah, Oom. Tapi ia pintar, ia lolos jalur PMDK. Kini ia kuliah juga tapi nggak sekampus denganku. Ia kuliah jurusan Bahasa Jepang."
   "Kalau memakai kimono, ia mirip manekin Jepang walaupun matanya bulat. Tapi wajahnya yang bulat itu ditambah dengan kesukaannya menyisir semua rambutnya ke belakang, ia tampak selalu imut. Walaupun sudah mahasiswi, seperti remaja SMA,"jawab ibu si Boy.
   "Kamu kok tahu?"