Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalam Selubung Kabut (8)

13 Juli 2020   04:14 Diperbarui: 13 Juli 2020   04:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lelaki itu menoleh ke arah jendela. Dari situ terlihat isterinya yang tengah duduk di teras seorang diri. Kakinya diselonjorkan di meja kecil yang biasanya diletakkan bersebelahan dengan kursi yang sedang diduduki, manakala ingin selonjoran ia tinggal menariknya ke depannya.

Ia memang tidak dekat dengan ayahnya, malahan bisa dikatakan sangat jarang bertemu setelah ibunya membawanya pergi beserta hampir seluruh harta ayahnya. Ia pun tidak mengetahui bahwa sesungguhnya ayahnya merupakan teman baik ayah suaminya.

            Keduanya mengadu nasib dengan cara berwirausaha. Apapun yang terjadi, terlihat bahwa ayah si tuan putri lebih berhasil dalam mengais rezeki, berlainan dengan ayahnya yang seringkali mengalami pasang surut.

            Mereka bertetangga di kompleks perumahan. Walaupun rumahnya juga jarang ditempati karena pak Wira, dengan kebiasaannya berselingkuh membuatnya tumbuh sebagai pekerja keras atau pekerja kerasnya itulah yang membuatnya memiliki kebiasaan berselingkuh, yang pasti harta yang dibawa lari isterinya tidak meninggalkan bekas mendalam. Ia begitu cepat bangkit kemudian membangun kerajaan bisnisnya kembali, berlawanan dengan ayahnya kendati mereka berteman.

            Oleh karena mereka berteman dan bertetangga, setiap menengok rumahnya yang ditempati entah isterinya yang keberapa, beliau selalu bertemu dan berbincang dengan ayahnya. Pada saat itulah, pak Wira selalu teringat anak perempuannya yang dibawa lari isterinya, karena bulan dan tahun kelahiran keduanya beriringan.

     "Kamu kelas berapa Boy?"

     "Saya sudah kuliah Oom. Semester  ketiga."

     "Tania tentu juga sudah kuliah nih," kata pak Wira menoleh ke ayahnya, yang ditanggapi ayahnya dengan anggukan.

     "Kamu tidak pernah menemuinya?"

     "Ibunya selalu melarangku,"keluhnya sambil menggaruk rambutnya,"Imejku tentu sangat jelek di depan anak perempuanku itu."

     "Anak lelakimu, si Rendy itu kabarnya nakal banget. Ulahnya selalu jahil. Selalu bikin onar dan biang tawuran."

     "Kamu dengar dari siapa?"

     "Ia kakak kelas si Boy. Tania juga teman sekolahnya, tapi tidak sekelas."

     "Mengapa Kamu tidak bercerita kepadaku?" pak Wira memprotes sahabatnya itu.

     "Kamu nggak tanya. Aku pun lupa. Kukira Kalian sudah berdamai."

     Pak Wira menggeleng. Ia hanya mendengar informasi bahwa isterinya tidak seberuntung dirinya dalam berusaha. Harta yang dilarikannya tidak sanggup membuat kondisi kehidupannya membaik. Beberapa kali tertipu ajakan bisnis lelaki-lelaki buaya yang ingin memanfaatkannya. Di samping itu, gaya hidup mewahnya pun mempercepat keludesan hartanya. Maka, siapa lagi yang menjadi korban kalau bukan kedua anaknya?

            Keduanya seolah menjadi ajang pelampiasan dendamnya kepada suaminya. Kalaupun mereka masih bisa makan kenyang, itu karena usaha kuliner dan loundry yang dikelolanya dibantu kedua anaknya kendati tidak berkembang, tapi tidak tutup. Selebihnya, uang saku dan uang biaya sekolah seringkali terbengkalai. Dalam kondisi demikian, ibunya tetap melarang ayahnya untuk bertemu kedua anaknya.

            Ayahnya pun sibuk. Selain sibuk bekerja, ia pun sibuk dengan anak dari isteri-isterinya yang lain. Oleh karena itu, kepedihan hatinya akibat dilarang bertemu dengan kedua anaknya, tidaklah sanggup menorehkan guratan duka mendalam. Berlainan dengan kedua anaknya yang akhirnya mengalami trauma, terlebih anak sulungnya, si Rendy.

     "Kamu pernah bercakap-cakap dengan Tani, Boy?'

     "Nggak pernah, Oom. Tapi ia pintar, ia lolos jalur PMDK. Kini ia kuliah juga tapi nggak sekampus denganku. Ia kuliah jurusan Bahasa Jepang."

     "Kalau memakai kimono, ia mirip manekin Jepang walaupun matanya bulat. Tapi wajahnya yang bulat itu ditambah dengan kesukaannya menyisir semua rambutnya ke belakang, ia tampak selalu imut. Walaupun sudah mahasiswi, seperti remaja SMA,"jawab ibu si Boy.

     "Kamu kok tahu?"

     "Perempuan. ia tentu penasaran tentang nasib anakmu yang dilarikan isterimu dulu itu. Ia tentu mencari informasi."

     "Selain itu, mereka kan lahir beriringan bulan dan tahunnya. Wira dulu malah bergurau mengajak kita berbesan. Kini Tania tumbuh sebagai gadis cantik dan imut. Low profile pula lagaknya seperti ayahnya."

     "Karakter anak kan menurun dari ayahnya. Kecerdasan menurun dari ibunya,"sahut suaminya.

     "Ibunya juga cerdas kan? Saat kami bertemu di rumah sakit bersalin dulu, ia mengatakan saat sekolah seringkali masuk lima besar."

     "Tapi gaya hidup borosnya itu yang menjengkelkan," sahut pak Wira.

     "Bagaimana, kita jadi besanan nggak?" tanya ibu si Boy.

     "Boynya mau?"

     "Ia kan anak mama. Apapun yang dikatakan ibunya ia pasti menurut. Lagipula mereka saat SMA satu sekolah. Boy itu anak rumahan. Kerjanya belajar terus. Ia kuliah di fakultas teknik informatika. Malah membuatnya pacaran dengan laptop. Kalau tidak dicarikan jodoh, aku cemas ia nggak bisa cari isteri...

     "Bukan nggak bisa. Kita cemas ia salah pilih seperti aku saat memilih ibunya Rendy dan Tania," sahut pak Wira.

     "Kita jodohkan saja mereka."

     "Tapi mana mau Tania? Ia cantik dan pintar. Tentu banyak lelaki kaya yang akan memburunya. Kita ini dalam bisnis seringkali hancur-hancuran. Bisa punya uang untuk makan dan sekolah anak-anak saja sudah senang."

     "Ah...mudah itu. Aku pun tidak tega menitipkan anak perempuanku kepada orang yang salah. Sekaligus, aku pun tidak tega menitipkan anakku kepada lelaki tanpa membekali sesuatu pun. Ia wanita. Terserah Boy nanti mengizinkan Tania bekerja atau tidak, tapi aku akan membelikan rumah dan mobil untuk mereka. Dengan harapan, Tania akan berharga di mata suaminya walaupun tidak bekerja. Tapi betulkah Boy sebaik itu? Awas Kalian kalau bohong."

     "Walah. Kamu kan bisa ajak Boy ngobrol agar tahu bagaimana anak itu. Lagipula, andaikan ia berbakat playboy meniru siapa? Ia kan bukan anakmu," jawab ibu si Boy.

     "Tapi ini rahasia. Biarlah mereka menyelesaikan kuliah lebih dulu, lalu kita atur pernikahan mereka. Aku ingin anakku menikah dengan pesta di gedung, sekaligus sudah ada rumah dan mobil. Tapi, jangan sampai ia tahu agar tidak menolak, karena ia tentu membenciku akibat pengaruh ibunya. Biarlah ia beranggapan, ia diburu lelaki anak orang kaya yang telah mempersiapkan pesta pernikahan sekaligus rumah dan mobil bagi pengantin baru. Dengan demikian, ia bisa berbahagia sekaligus aku bisa mendekat kepadanya melalui kalian."

            Hmm...lelaki itu menghela napas. Ia bukan lelaki mata duitan. Dengan gajinya, ia pun bisa memenuhi kebutuhan hidupnya itu walaupun tidak secepat itu sebagai pengantin baru sudah tersedia segalanya. Akan tetapi, ia memang menyukai Tania begitu ayah dan ibunya mengarahkan untuk mendekati Tania. Ia menyukainya lalu mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dengan cinta.

            Tania pun menyambut perhatiannya yang tidak layak ditolak terlebih saat itu ia tengah dikecewakan lelaki kaya yang ternyata banyak pacar. Tania merasa sangat beruntung bertemu dengan Boy, lelaki yang juga sekaya mantannya. Mantan yang dianggapnya tukang PHP karena kekayaannya memang membuatnya kebingungan memilih wanita. (bersambung )

NB Novel bersambung setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun