Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apalah Arti Derita

4 Juli 2020   07:57 Diperbarui: 4 Juli 2020   08:08 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com/Wisnubrata

            Konon, tapi ini kisah nyata, pada saat perang dunia II, Letnan Hiroo Onoda tidak mau percaya terhadap informasi bahwa Jepang telah kalah. Ia beranggapan bahwa berita tersebut hanyalah tipu daya. Maka, ia telah bersembunyi selama 30 tahun dengan jawaban karena ia telah diberi perintah untuk tidak menyerah.

Begitulah, manusia sering memilih untuk membaktikan hidupnya untuk alasan-alasan yang adakalanya tidak bermanfaat. Walaupun begitu, onoda mengatakan bangga telah melakukannya demi sebuah kekaisaran. Dengan demikian, ia telah melakukan sebuah alasan yang merupakan penderitaan. Penderitaan bermakna, sehingga ia pun menikmatinya.

Letnan Onoda akhirnya ditemukan di Filipina dan kembali ke negerinya, Jepang, pada tahun 1974. Kemudian, hal yang ditemuinya sebagai perwujudan era modern, membuatnya bergidik, budaya konsumtif, kapitalis, dan dangkal yang seolah telah menghilangkan tradisi kehormatan dan pengorbanan, tradisi yang telah membesarkan generasinya.

Onoda pun memanfaatkan posisinya sebagai orang hilang yang telah ditemukan, dengan cara mengajak menegakkan nilai-nilai tradisional Jepang, namun suaranya seakan hanyalah suara sumbang tanpa arti. Ironisnya, ia justru merasa tertekan hidup dalam budaya yang telah mengalami akulturasi tersebut. Manakala ia masih berada di hutan filipina, ia merasa tengah merasakan kehidupan yang bermakna. Akan tetapi sekembalinya ke Jepang, ia merasakan adanya sebuah bangsa yang kosong dipenuhi akulturasi budaya. Akhirnya, ia pun pindah ke Brazil sampai akhir hayatnya.

Kesadaran diri ibarat bawang, dalam buku yang masih terpegang kemarin berjudul Sebuah Seni untuk  Bersikap Bodo Amat. Dalam buku itu selain pembahasan sekilas tentang Onoda di atas, dikatakan bahwa kita semua memiliki kekurangpekaan emosional. Titik yang muncul karena berpaut dengan emosi yang dianggap tidak layak untuk dikembangkan. Hal itu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mahir mengenali kekurangpekaan emosi diri sendiri untuk diekspresikan secara cepat.

Lapisan berikutnya adalah kesadaran diri untuk bertanya mengapa kita merasakan emosi tertentu. Pertanyaan yang penting untuk memberikan pencerahan terhadap hal yang kita anggap berhasil atau gagal. Lapisan ini idealnya dapat membantu kita menemukan akar masalah untuk mencari solusinya atau mengubahnya.

Lapisan lebih dalam adalah sebuah lapisan dengan pertanyaan mengapa kita menganggap hal ini sebagai suatu kegagalan ataupun keberhasilan? Bagaimana saya mengukur hal itu dan standar apa yang saya gunakan untuk menilai diri dan sekitar? Bagaimanapun, nilai-nilai adalah apa yang kita pegang. Hal tersebut merupakan penentu hakikat permasalahan kita, dan hakikat permasalahan kita adalah penentu kualitas hidup kita.

Nilai- nilai tersebutlah yang mendasari segala hal yang berhubungan dengan diri kita. Jika nilai-nilai yang kita anut kurang bermanfaat,  jika yang kita anggap sebagai kesuksesan  atau kegagalan adalah pilihan gegabah, maka nilai-nilai yang kita yakini pun tidak akan banyak maknanya.Dengan demikian, hakikat diri kita pun kurang berharga.

 Anehnya, banyak orang kelimpungan manakala harus menjawab pertanyaan "mengapa"  secara akurat. Hal itu menghambat mereka memahami nilai-nilai yang mereka anut. Misalnya, mereka bisa saja mengatakan bahwa kejujuran dalam persahabatan adalah lambang persahabatan sejati, namun dalam waktu berlainan mereka menikung kita dari belakang demi keinginan mereka sendiri untuk lebih baik. Demikian pula, banyak orang mengaku kesepian, namun saat ditanya mengapa, jawaban mereka cenderung menyalahkan orang lain, lalu menghindari masalah sejenis daripada mencari solusinya.

Bagi beberapa orang, hal itu dianggap sebagai kesadaran diri padahal andaikan diselami lebih jauh, mereka akan menyadari bahwa analisis yang mereka lakukan hanyalah upaya untuk menghindari tanggung jawab lalu mencari kambing hitam.

Kata tanya "mengapa" pun kerap dihindari para motivator, misalnya manakala mereka memotivasi seseorang untuk cepat kaya, mereka pun memberikan seabreg strategi untuk menjadi kaya, jarang yang menyampaikan pertanyaan awal, "Mengapa sih, mereka ingin menjad kaya?".Sama dengan seorang isteri yang merasa tidak aman dengan ulah pelakor lalu marah tidak karuan tanpa teringat untuk menanyai si pelakor,"Mengapa sih Kamu begitu tertarik kepada suamiku?" Terganggu pikiran obsesif ataukah yang lainnya?

Banyak petuah dan nasihat yang hanya membuat orang merasa baik dalam jangka pendek tanpa teringat hal mendasar berjangka panjang yang seharusnya dijawab. Bertanya kepada diri sendiri memang sulit, padahal menurut pengakuan beberapa orang, semakin tidak nyaman jawaban atas suatu pertanyaan, jawaban tersebut semakin mendekati kebenaran. Misalnya saat pelakor ditanya mengapa kamu mencintai suamiku? Lalu dijawab karena ia ...karena ia kaya. Mungkin itu memang kebenaran dari isi hatinya terdalam.

Lalu, adakah keterkaitan uraian di atas dengan judul? Bukankah judul tulisan ini "Apalah Arti Derita?" Judul tersebut berawal dari pengalaman manakala mencoba mengaitkan dengan analisis kulit bawang dalam buku ini. Pertama, kegelisahan yang ditimbulkan akibat bermata minus. Pertanyaan mengapa mata menjadi minus? Memerlukan waktu tersendiri, karena masa itu sudah berlalu dan telah memberikan bukti, bahwa saya telah bermata minus, itulah fokus. Sesuatu hal yang harus dicari solusinya.

Solusi yang telah ditemukan yaitu berkaca mata, operasi agar mata minus menjadi normal,  atau menggunakan  soft lens. Sebagai wanita, wajarlah ingin mencoba, maka saya mencoba keduanya. Soft lens dan kacamata. Ternyata, lama kelamaan pemakaian soft lens serba merepotkan untuk guru seperti saya yang harus berangkat pagi-pagi. Hal itu semula menimbulkan kesedihan tersendiri, karena kaca mata biasanya hanya saya gunakan kalau sedang bepergian.  Caranya? Ke optik untuk mengganti lensa normal berwarna hitam dengan lensa minus  berwarna sama.

Kepedihan tidak bisa menggunakan soft lens karena terbentur waktu, tidak dibiarkan berlama-lama. Saya pun bertanya, mengapa berkaca mata? Karena mata minus tiga. Mengapa harus menggunakan soft lens? Agar tampak cantik dengan kornea aneka warna. Apakah berkacamata tampak jelek? Lama saya tidak bisa segera menjawab, sampai akhirnya menemukan solusi. Agar tidak jenuh, belilah berbagai bingkai kacamata dengan lensa aneka warna pula. Barangkali bisa tampak keren,Guys.

Yakh...akhirnya, walaupun dijuluki kolektor kacamata tidak masalah Guys, yang penting merasa nyaman tidak lagi cemas terkena infeksi yang diakibatkan soft lens. Selain itu, kadangkala keren juga kok. Hehehe. Ini edisi menghibur diri untuk selalu bersyukur walaupun sebetulnya itu sebuah derita. Akhirnya, selamat berkaca mata, Guys.  Kelak, jika jenuh berkacamata, operasi  adalah solusi terakhir karena membutuhkan biaya tidak sedikit sih, Guys. Apalah arti derita jika kita berupaya menyiasatinya  menjadi anugerah, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun