Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apalah Arti Derita

4 Juli 2020   07:57 Diperbarui: 4 Juli 2020   08:08 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com/Wisnubrata

Banyak petuah dan nasihat yang hanya membuat orang merasa baik dalam jangka pendek tanpa teringat hal mendasar berjangka panjang yang seharusnya dijawab. Bertanya kepada diri sendiri memang sulit, padahal menurut pengakuan beberapa orang, semakin tidak nyaman jawaban atas suatu pertanyaan, jawaban tersebut semakin mendekati kebenaran. Misalnya saat pelakor ditanya mengapa kamu mencintai suamiku? Lalu dijawab karena ia ...karena ia kaya. Mungkin itu memang kebenaran dari isi hatinya terdalam.

Lalu, adakah keterkaitan uraian di atas dengan judul? Bukankah judul tulisan ini "Apalah Arti Derita?" Judul tersebut berawal dari pengalaman manakala mencoba mengaitkan dengan analisis kulit bawang dalam buku ini. Pertama, kegelisahan yang ditimbulkan akibat bermata minus. Pertanyaan mengapa mata menjadi minus? Memerlukan waktu tersendiri, karena masa itu sudah berlalu dan telah memberikan bukti, bahwa saya telah bermata minus, itulah fokus. Sesuatu hal yang harus dicari solusinya.

Solusi yang telah ditemukan yaitu berkaca mata, operasi agar mata minus menjadi normal,  atau menggunakan  soft lens. Sebagai wanita, wajarlah ingin mencoba, maka saya mencoba keduanya. Soft lens dan kacamata. Ternyata, lama kelamaan pemakaian soft lens serba merepotkan untuk guru seperti saya yang harus berangkat pagi-pagi. Hal itu semula menimbulkan kesedihan tersendiri, karena kaca mata biasanya hanya saya gunakan kalau sedang bepergian.  Caranya? Ke optik untuk mengganti lensa normal berwarna hitam dengan lensa minus  berwarna sama.

Kepedihan tidak bisa menggunakan soft lens karena terbentur waktu, tidak dibiarkan berlama-lama. Saya pun bertanya, mengapa berkaca mata? Karena mata minus tiga. Mengapa harus menggunakan soft lens? Agar tampak cantik dengan kornea aneka warna. Apakah berkacamata tampak jelek? Lama saya tidak bisa segera menjawab, sampai akhirnya menemukan solusi. Agar tidak jenuh, belilah berbagai bingkai kacamata dengan lensa aneka warna pula. Barangkali bisa tampak keren,Guys.

Yakh...akhirnya, walaupun dijuluki kolektor kacamata tidak masalah Guys, yang penting merasa nyaman tidak lagi cemas terkena infeksi yang diakibatkan soft lens. Selain itu, kadangkala keren juga kok. Hehehe. Ini edisi menghibur diri untuk selalu bersyukur walaupun sebetulnya itu sebuah derita. Akhirnya, selamat berkaca mata, Guys.  Kelak, jika jenuh berkacamata, operasi  adalah solusi terakhir karena membutuhkan biaya tidak sedikit sih, Guys. Apalah arti derita jika kita berupaya menyiasatinya  menjadi anugerah, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun