Rintik hujan bulan Desember seolah tiada hentinya membasahi bumi. Kadangkala melebat dalam sekejap. Kaki- kakinya yang tajam runcing pun menapaki jendela meninggalkan bekas berbentuk bulatan air yang meluruh.
Sebuah lukisan berbahan debu yang menempel di jendela, membutuhkan sedikit tenaga untuk membersihkannya. Akan tetapi, waktulah  yang acapkali tidak bersahabat, sehingga lukisan air hujan bercampur debu itu pun tampak semakin menebal dari hari ke hari.
Sebetulnya, solusi hanyalah dengan melangkah mengambil lap kemudian membasahinya. Sambil melangkah gontai menuju jendela dan menggosok-gosokkan lap basah tersebut layaknya seorang siswa yang tengah menghapus papan tulis, tentu jendela tersebut akan bersih seketika.
Akan tetapi, kaki lagi- lagi terasa berat melangkah. Ribuan beban seakan menggelayuti kepala, memaksa masuk menjejalkan isi,-- kadang berupa ide, tapi tak jarang berupa masalah.
Aneka masalah dari yang penting sampai yang kurang penting, tidak penting, beserta tidak penting banget--, semua memaksa masuk menggedori tempurung kepala yang sudah nyut-nyutan karena kelelahan, kekurangan vitamin, gizi, bahkan oksigen.
Jadilah, setiba di rumah bukannya bersibuk membersihkan kaca-kaca jendela melainkan merebahkan badan dulu. Rebahan barang lima sampai sepuluh menit sekadar  pelepas ketegangan yang seolah menyergap tanpa memberikan ruang untuk menghela napas.
Isi kepala baik yang berwujud ide bahkan masalah, memang harus segera dituang secepatnya tanpa harus menunggu mereka terdelete oleh sistem yang terdapat di kepala. Sistem yang bekerja secara cepat seiring waktu tanpa mau mundur setapak pun.
Maka, isi kepala yang berupa idelah yang seringkali terdelete dengan cepat dan pasrah tanpa perlawanan, karena di dalamnya tak termuat amarah, dendam, bahkan ambisi, maupun obsesi.
 Akan tetapi, isi kepala yang berwujud masalah, sangat erat melekat seolah kebal virus. Kebal pula pada cara kerja sistem yang berusaha menghapusnya secepatnya begitu aneka masalah dan ide sudah berdesakan menjejali kepalanya.
Aneka masalah yang berdesakan itulah, kemudian menggerogoti ketenangannya, menggerogoti waktu istirahatnya. Sehingga ia hanya terlihat bergolek di kasur, hanya terlihat duduk santai menyelonjorkan kaki, padahal aneka masalah tengah berdesakan dan berlompatan menyulut dan membakar amarahnya, menyulut dan membakar emosinya.
 Masalah yang berdesakan tanpa ada yang mau mengalah karena semua menuntut segera diurai dan dituruti, membuatnya malah kebingungan,  merasa kebanyakan beban, kemudian malah pasif tak sanggup memilih mana yang akan diutamakan untuk diurai agar tidak semakin menjafi benang kusut.
Kebingungan yang mmebuatnya malah tak mengerjakan apapun. Kepala yang sudah menempel di bantal dengan punggung lekat di kasur, tak sanggup pula secara cepat membuat mata terlelap.
Godaan ponsel yang tergeletak lemah sendirian di lantai seolah kian melambai-lambai untuk disentuh. Maka, niat beristirahat sebentar sekadar menghilangkan penat pun terpinggirkan oleh ponsel yang tak pernah mau mengerti kelelahan si tuan putri.
Ia pun menyergap waktu yang sudah menunjukkan pukul 16.00 tersebut untuk menghipnotis si tuan putri berselancar di alam maya bersamanya sampai magrib tiba.
Perolehan informasi tentang isu, gosip, maupun berita terkini yang bagi orang lain bisa jadi tidak penting, namun penting banget bagi si tuan putri. Karena dari situlah ia dapat memperoleh banyak inspirasi untuk kemudian menuangnya ke dalam puisi, cerpen, maupun opini.
Akan tetapi, inspirasi yang tidak segera dituang pun akan melenyap dan melebur bersama waktu, membawa pergi  gumpalan-gumpalan aneka ide dan masalah yang menjejali tempurung kepalanya. Gumpalan ide dan masalah tersebut kemudian menghambur keluar laksana butiran-butiran kerikil yang beterbangan keluar dari dalam pick up yang melaju kencang di jalanan.
Jika sudah demikian, ia merasa isi kepalanya ringan dan fresh kendati segala inspirasi di otaknya tidak ada yang tertuang ke dalam tulisan. Akan tetapi, tidak demikian dengan kaca-kaca jendela rumahnya.
Debu- debu yang menempel akibat diterbangkan angin pun semakin tebal tanpa ada sebutir pun yang mau terlepas dari jendela. debu yang semakin tebal, dan menebal, membuat pandangan ke luar tak lagi lepas, tapi sudah dipenuhi aneka bayangan buruk dari bentuk-bentuk debu yang menggumpal dan menempel. Menempel dan menggumpal.
Pandangan keluar pun tampak memburuk. Bukan buruk karena tampilan pemandangan tersebut, namun buruk akibat kaca jendela yang tidak segera dibersihkan. Semua yang tampak dari balik jendela menjadi kabur, penuh noda kehitaman. Lukisan noda tersebut pun beraneka ragam. Ada yang berwujud menakutkan, mengerikan, menggelikan, bahkan menjijikkan.
Jika sudah demikian, keluarlah aneka sumpah serapah terhadap berbagai bentuk yang tampak dari balik jendela. ia menggerutu dan mengatakan betapa jelek dan tidak menarik semua yang dilihatnya dari balik jendela.
Jadi, harus ada kambing yang bersedia dicat hitam. Si kambing yang terpilih pun tidak tanggung-tanggung. Seringkali malah motivator yang menyemangati alasan dirinya bekerjalah yang tercomot demi menyelamatkan diri.Â
Bahkan, adakalanya Sang Maha Pencipta pun tak luput dari amuk kuas yang akan melumurinya dengan warna hitam dalam lukisan yang telah dipersiapkannya. Lukisan berwujud kambing itu pun harus pasrah menjalani eksekusi karena kuas yang telah dicelupkan ke dalam cat hitam segera melumurinya, jika tidak dapat dikatakan menumpahinya, dengan cat hitam.
Jika sudah demikian, legalah dirinya. Puaslah hatinya. Kakinya pun diselonjorkannya di depan TV. Betapa inginnya ia meraih berbagai kesibukan yang menumpuk, jika segera dikerjakannya, bukan tidak mungkin akan sanggup memberikan sejumput dua jumput rezeki.
Akan tetapi, lagi-lagi aneka masalah itu menggedori istirahatnya. Ketenangannya pun segera dikacaukan oleh masalah-masalah yang menyergapnya tanpa ampun. Masalah yang seolah memiliki kaki seribu dan siap mencekeram seluruh persendiannya, bahkan seluruh syaraf di otaknya, agar tetap diam terpaku di depan TV tanpa mengerjakan sesuatu pun.
Seringkali, perasaannya malah terhanyut oleh karakter tokoh antagonis dalam film-film sinetron yang dilihatnya. Aneka masalah yang berwujud dendam pun seolah meronta ingin segera terpuaskan hasratnya.
Jika dalam film orang dapat melampiaskan dendamnya sedemikian rupa, mengapa aku tidak? Gumamnya. Diraihnya bolpen di atas TV kemudian ia mulai mendata dan mencatat satu per satu dendam yang akan dilampiaskan dengan tuntas setuntas-tuntasnya.
Setelah kepala serasa semakin memberat, maka ia pun mencoba melampiaskan dendamnya. Pertama, dendam kepada siapakah? Lagi- lagi ia tak dapat menepis, bahwa dendam yang pertama ternyata ditujukan kepada ibunya. Baginya, ibunya wanita yang sangat pemboros.
Uang belanja berapapun yang diberikan ayahnya, selalu dihabiskannya jika tidak dapat dikatakan selalu kekurangan bahkan seringkali berhutang sana- sini. Entah mengapa, ibunya gemar sekali berhutang.
Belanja kepada bakul sayur harian pun menghutang, belanja kepada toko sembako pun menghutang. SPP anak-anaknya? Apalagi itu. Jika dipercaya desa untuk memohon kartu miskin tentu akan dilakukannya. Bukan berati uang belanja pemberian ayahnya sangat sedikit. Bukan itu masalahnya. (bersambung )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H