Jika sudah demikian, legalah dirinya. Puaslah hatinya. Kakinya pun diselonjorkannya di depan TV. Betapa inginnya ia meraih berbagai kesibukan yang menumpuk, jika segera dikerjakannya, bukan tidak mungkin akan sanggup memberikan sejumput dua jumput rezeki.
Akan tetapi, lagi-lagi aneka masalah itu menggedori istirahatnya. Ketenangannya pun segera dikacaukan oleh masalah-masalah yang menyergapnya tanpa ampun. Masalah yang seolah memiliki kaki seribu dan siap mencekeram seluruh persendiannya, bahkan seluruh syaraf di otaknya, agar tetap diam terpaku di depan TV tanpa mengerjakan sesuatu pun.
Seringkali, perasaannya malah terhanyut oleh karakter tokoh antagonis dalam film-film sinetron yang dilihatnya. Aneka masalah yang berwujud dendam pun seolah meronta ingin segera terpuaskan hasratnya.
Jika dalam film orang dapat melampiaskan dendamnya sedemikian rupa, mengapa aku tidak? Gumamnya. Diraihnya bolpen di atas TV kemudian ia mulai mendata dan mencatat satu per satu dendam yang akan dilampiaskan dengan tuntas setuntas-tuntasnya.
Setelah kepala serasa semakin memberat, maka ia pun mencoba melampiaskan dendamnya. Pertama, dendam kepada siapakah? Lagi- lagi ia tak dapat menepis, bahwa dendam yang pertama ternyata ditujukan kepada ibunya. Baginya, ibunya wanita yang sangat pemboros.
Uang belanja berapapun yang diberikan ayahnya, selalu dihabiskannya jika tidak dapat dikatakan selalu kekurangan bahkan seringkali berhutang sana- sini. Entah mengapa, ibunya gemar sekali berhutang.
Belanja kepada bakul sayur harian pun menghutang, belanja kepada toko sembako pun menghutang. SPP anak-anaknya? Apalagi itu. Jika dipercaya desa untuk memohon kartu miskin tentu akan dilakukannya. Bukan berati uang belanja pemberian ayahnya sangat sedikit. Bukan itu masalahnya. (bersambung )
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI