Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tantrum

14 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:29 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Adakah solusi lain?"

"Ada Tante. Menyadarkan Kak  Nia bahwa meminta motor baru bukan kebutuhan pokok, karena ia masih memiliki motor yang masih bagus."

"Mengapa ia ingin dibelikan motor baru?"

"Karena ia tidak rela pensiun mama terpakai. Ia pun ingin tampak keren sebagai anak perwira."

Kirana menghela napas mencoba memaklumi jalan pikiran Nia. Ia masih belum memahami, kelak jika ia menikah lalu memerlukan biaya tidak sedikit, tegakah ia sebagai ibu tiri untuk berdiam diri tanpa mengulurkan bantuan dari gajinya demi menyenangkan tamunya? Nia hanya berpikir untuk apa pensiun mama? Dihabiskan oleh ibu tirikah? Jika benar, aku pun minta motor baru. Jika tidak dituruti, aku akan minggat.

Gejala psikologis yang bisa parah jika dibiarkan. Kirana masih mencari solusi untuk menyadarkan, bahwa dirinya bukanlah ibu tiri sejahat yang dibayangkan Nia. Ia heran bagaimana mungkin Nia memiliki watak yang mengarah kepada sifat iri bahkan dengki? Lalu dengan seenaknya mengancam ingin minggat jika kemauannya tidak dituruti?

Akan tetapi, ia pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Nia. Gaji suaminya apakah tidak cukup untuk membiayai semuanya? Tentu cukup. Wajar jika Nia menuntut pensiun mamanya untuk memenuhi keinginnya berganti motor. Tekat Nia sangat kuat untuk protesnya itu, bahkan ia rela menangis tantrum demi dipenuhi kemauannya. Nasihat apapun seakan tidak mempan. Ia hanya memberikan dua alternatif, dituruti atau minggat.

Kirana pun kesal. Ia tidak suka dicurigai menghabiskan uang pensiun almarhumah. Ia hanya setuju suaminya mengatakan harus berhemat karena anak-anaknya semakin butuh banyak biaya untuk kuliah, untuk les, untuk acara menikahkan mereka kelak.

Nia tidak pernah mau mendengar. Teriakannya saat tantrum seolah ingin mencakar ibu tirinya. Kirana menjadi ngeri. Ia merasa menghindari masalah menjadi perawan tua hanya untuk menjemput masalah baru. Masalah yang membuat anak tirinya menjadi sanggup menumbuhkembangkan bibit iri dengkinya.  Atau, mungkin tantrumnya dianggapnya sebagai wujud keberaniannya untuk memprotes, menyuarakan kebenaran, tanpa mau tahu bahwa kebenaran yang dituntutnya itu belum tentu benar, karena ia masih memerlukan biaya besar untuk kuliahnya, juga untuk pesta pernikahannya kelak.

Kirana tertidur di sofa di depan jendela senja itu. Muridnya yang datang kepadanya mengenakan pakaian tentara mengetuk kembali pintu  jendelanya. Ia terkejut, hatinya bergejolak riang. Ia segera membuka mata, ingin mengatakan aku tak peduli akan terluka kelak, semoga tidak, daripada aku dicurigai mata duitan oleh anak tiriku. Lebih baik bersamamu walaupun belum menjadi perwira, tapi kamu telah berjuang untuk memantaskan diri bersamaku. Ia pun segera berdiri membuka pintu. Ia tertegun. Suaminya telah berdiri di depan pintu berlatar belakang hujan yang belum juga mereda.

"Wah, sampai tertidur menunggu suami pulang ya. Benar-benar isteri setia,"kata suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun