Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tantrum

14 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:29 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kirana menatap kosong keluar jendela. Hujan semakin lebat. Kaki-kakinya yang runcing lancip seolah menghunjam ke relung-relung hatinya yang terdalam. Ketajaman tusukan yang menghadirkan luka. Luka akibat ucapan anak tirinya seolah mengulitinya akibat mencurigainya. Luka yang tak kunjung reda bahkan terasakan semakin dalam seiring curah hujan yang tiba-tiba mengguyur bumi sore itu.

            "Kukira uang pensiun mama tetap diterima, Papa. Bukankah demikian?" Nia berkata dengan suara sengaja dikeraskan.

            "Mana aku tahu,"sahut adiknya tak kalah keras sambil tetap menatap gawainya.

Kirana tersentak. Ia melongok keluar jendela, matanya terhenti di teras tempat kedua anak tirinya berbincang. Badannya mendadak meriang. Ia terbiasa melajang lama dan bebas menggunakan waktu sepulang bekerja sesuka hatinya termasuk  tidak segera mandi. Ia tidur-tiduran dulu di depan TV kemudian beranjak ke kamar mandi begitu azan Magrib mengalun. Kini, ia tidak lagi memberlakukan kebiasaan tersebut. Walaupun suaminya memutuskan menggaji orang untuk membereskan pekerjaan rumah termasuk kegiatan masak- memasak, tapi Kirana berusaha memberikan keteladanan sebagai ibu yang baik. Seorang isteri yang sudah rapi sudah mandi di sore hari menunggu suaminya pulang kerja.

"Papa tidak mudah memenuhi keinginan kita sekarang, setelah menikah lagi,"gerutu si sulung. Seorang remaja kelas dua SMA.

Adiknya, lelaki kelas 3 SMP tidak menanggapi ucapan kakaknya. Ia sibuk dengan gawainya. Ada tugas sekolah yang harus dikerjakan.

"Mengapa Kamu diam saja?"

"Mana aku tahu,"singkat jawaban adiknya, membuat kakaknya emosi.

"Itu karena mama baru kita pemalas. Coba lihat, apa yang dilakukannya di rumah kita? Nggak ada kan? Dulu mama masih mau bersibuk. Urusan pekerjaan rumah mama tidak pernah membayar orang lain. itu pun mama masih bekerja. Tapi, ia dengan seenaknya bermalasan tinggal di rumah kita. Uang pensiun mama pastinya yang digunakan untuk membayar tenaga orang lain beres-beres rumah...

"Kamu sih, perempuan tidak mau membantu,"sanggah adiknya.

"Mengapa aku harus membantu? Aku dulu juga jarang membantu mama, tapi segalanya beres, bukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun